“Apabila ada pihak yang melakukan revisi, maka sangat berbahaya serta menciptakan sebuah persoalan besar di tanah ini,” tukas Ketua Komisi A DPRP Ruben Magai SIP ketika dikonfirmasi Bintang Papua diruang kerjanya, Selasa (31/8) kemarin.
Dia mengatakan, pihaknya mempertanyakan dasar apa dilakukan revisi UU Otsus. Atas dasar usul siapa dan berdasarkan rekomendasi apa. Apabila hendak revisi UU Otsus melibatkan tokoh tokoh Papua yang waktu lalu minta merdeka supaya pikiran- pikiran mereka juga diakomodir dalam sebuah konstitusi sehingga dikemudian hari tak menuntut merdeka.
“ Tapi kalau itu tak diakomodir ini berarti bahaya. Bahaya dalam arti bahwa kepentingan sekelompok itu diakomodir dan rakyat selalu termarginalkan. Tak terakomodir masuk di dalam sebuah sistim yang benar untuk mendorong dan memajukan rakyat Papua,” tukasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi A DPRP Ir Weynand Watory menegaskan ada mekanisme untuk pengajuan judicial review (uji material) terhadap UU No 21 tahun 2001 atau UU Otsus khususnya pasal 7 huruf a bahwa Gubernur Provinsi Papua dipilih oleh DPRP. Tapi perubahan melalui Perpu No 1 Tahun 2008 menjadi UU No 35 Tahun 2008 dimana konsiderannya adalah memberikan payung hukum kepada Provinsi Papua Barat bukan mengubah pasal 7 huruf a UU Otsus.
“Pasalnya, hal ini berkonsekuensi kepada pendanaan, tapi juga harus menjadi keputusan politik dari lembaga maka tentu ada proses proses untuk memutuskannya. Dan dari proses proses memutuskannya itu kan dari Komisi mengajukan hal itu kepada pimpinan kemudian dibawah ke rapat Badan Musyawarah (Banmus) DPRP,” ujar Watory ketika dihubungi Bintang Papua di ruang kerjanya, Senin (30/8) kemarin terkait rencana DPRP ajukan judicial review terhadap UU No 21 Tahun 2001 atau UU Otsus.
Menurut dia, selanjutnya pihaknya akan mendengar keputusan politik dari setiap Fraksi di DPRP. Dan karena itu harus ke paripurna DPRP untuk mendapatkan pengesahan serta mendengar pandangan pandangan setiap Fraksi DPRP terkait rencana judicial review terhadap UU Otsus tersebut “Kami sudah melakukan itu cukup jauh dan setelah itu kami wajib melaporkannya kepada pimpinan DPRP untuk kemudian dibuat menjadi suatu keputusan lembaga bukan keputusan Komisi. Tapi apabila tiba pada keputusan harus dikembalikan lagi kepada mekanisme di DPRP,” tukasnya.
“Karena itu kami tekah melaporkan kepada pimpinan DPRP dan ternyata sudah disetujui maka kami harus kembalikan ke proses atau mekanisme di DPRP untuk diputuskan.”
Politisi senior Partai Kedaulatan ini menambahkan, pihaknya mengharapkan agar semua pihak berjalan diatas aturan dan tak perlu melakukan perubahan perubahan tanpa mengacu kepada perintah UU. Pasalnya, perintah UU sangat jelas bahwa UU Otsus yang berlaku khusus ini bisa dilakukan perubahan sesuai mekanismenya harus lewat keputusan rakyat.
“Kita bikin pertemuan rakyat Papua ka atau kita bikin semacam Musyawarah Besar ka yang difasilitasi DPRP dan MRP kemudian sekarang harus dengan Papua Barat karena sekarang Otsus itu sudah berlaku juga di Papua Barat. Dan masyarakat di kedua Provinsi ini harus berkumpul dan mereka menyatakan bahwa menurut kami perlu ada perubahan perubahan,” katanya.
Menurunya, ironisnya rakyat yang memiliki mandat dan kedaulatan untuk melakukan perubahan ini tak pernah berbicara sekalipun tiba tiba perubahan itu dilakukan dan anehnya lagi bahwa dilakukan perubahan itu pada Perpu No 1 Tahun 2008 dimana konsideran itu hanya memberikan payung hukum kepada Provinsi Papua Barat yang secara de fakto sudah ada.
Menurut dia, kalaupun misalnya mau ditambahkan maka itu hanya ditambahkan bahwa perubahan Perpu itu memberikan payung hukum sebagai dasar untuk kemudian diterbitkan UU No 35 tahun 2008 itu hanya menambahkan penjelasan atau pasal yang menyatakan bahwa Provinsi Papua Barat itu adalah dari pembelakuan Otsus di Tanah Papua.
“Koq tak ada hubungan sama sekali dengan penghilangan pasal 7 huruf a UU Otsus tak ada konsideran yang mempertimbangkan bahwa pelaksanaan Pemilu yang dilakukan DPRP itu setelah evaluasi tak benar makanya dikembalikan kepada rakyat sesuai dengan semangat reformasi. Jadi sama sekali tak ada satu huruf atau satu katapun yang menjelaskannya. Saya menganggap ini perubahan ini sangat amburadul dan inkonsitusional atau tak sesuai dengan UU,” urainya.
Kerana itu, tambahnya, pihak pihak yang melakukan perubahan terhadap UU No 21 Tahun 2001 khusus pasal 7 huruf a ini tanpa mengikuti konstitusi perlu diproses hukum.”Nanti akan kita lihat kalau memang itu kesalahan ya negara ini adalah negara hukum wajib. Kalaupun keputusan mereka harus dikenakan sanksi ya kenakan sanksi tak ada seorang pun yang kebal hukum di negara ini,” tukasnya.
“Tapi itu kan proses masih jauh kita lihat dulu proses ini kita jalankan dulu. Mudah mudahan itu berlanjut sampai kepada posisi dimana
0 comments:
Post a Comment