Selasa, 08 November 2011 00:07
JAYAPURA—Setelah pihak DAP dan PDP yang diwakili Herman Awom menolak usulan komunikasi konstruktif untuk menyelesaikan masalah Papua sebagaimana diusulkan Sesmenkopolhukam Letjen (Purn) Hotma Panjaitan, kini giliran Ketua Komisi A DPR Papua Ruben Magay juga menyatakan menolak.
Saat dihubungi diruang kerjanya, Komisi A DPR Papua, Senin (7/11), Ruben Magai mengatakan, Komunikasi konstruktif adalah suatu pendampingan terhadap pengawasan program yang dilakukan pemerintah pusat. Apabila pemerintah pusat menawarkan komunikasi konstruktif mestinya disertai konsep yang jelas. “Pemerintah pusat jangan bicara doang. Tapi harus menyampaikan konsep komunikasi konstruktif kepada rakyat Papua,”katanya.
Politisi Partai Demokrat Papua ini menjelaskan, Dialog Jakarta—Papua telah mempunyai konsep yang jelas. Bahkan telah mendapat kesepakatan dari seluruh elemen masyarakat Papua, bahkan pihak Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah pusat bahwa untuk menyelesaikan masalah Papua dibutuhkan Dialog Jakarta—Papua bukan komunikasi konstruktif atau Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), Tim Pemantau Evaluasi Otsus Aceh dan Papua dan lain lain.
“Kami menolak segala tawaran pemerintah pusat apabila tak sepenuhnya melibatkan Rakyat Papua,” tukasnya. “Beda dengan Otsus Aceh yang penyusunannya murni pemikiran rakyat Aceh.”
Dia menegaskan, apabila Otsus diberikan sebagai solusi tuntutan agar Papua merdeka dan berdaulat terlepas dari NKRI, seyogyanyalah, implementasi Otsus melibatkan rakyat Papua.
Kata dia, Dialog Jakarta—Papua nantinya membahas 4 agenda penting masing masing Pelurusan Sejarah 1 Desember 1961, Kontrak Karya PT Freeport Indonesia 7 April 1967, Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 serta UU Otsus 2001.
Pembahasan Pelurusan Sejarah 1 Desember 1961, Pemerintah Hindia Belanda telah menyepakati syarat syarat Papua Barat berdiri sebagai suatu negara berdaulat.
“1 Desember selalu diperingati sebagai Hari Kemerdekaan Bangsa Papua Barat,” tuturnya.
Selanjutnya, Kontrak Karya pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia dilaksanakan pada 7 April 1967 sebelum Papua Barat dianeksasi kedalam NKRI, apalagi kesepekatan tersebut tak melibatkan rakyat Papua sebagai pemilik hal ulayat lokasi tambang emas PTFI di Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika. Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 serta UU Otsus 2001 yang dinilai gagal sejahterakan rakyat Papua dan karena rakyat Papua telah mengembalikannya kepada pemerintah pusat.
Dia menandaskan, masalah-masalah lain yang dibutuhkan rakyat Papua seperti pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat serta infrastruktur adalah kewajiban pemerintah pusat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua.(mdc/don/l03)
0 comments:
Post a Comment