rss

Powered By Blogger

Search This Blog

Saturday 12 November 2011

Melanesian Spearhead Group (MSG) akan Mengizinkan West Papua Melamar sebagai Status Peninjau

Posted at 20:55 on 11 November, 2011 UTC

Terjemahan PMNews dari sumber: http://www.rnzi.com/pages/news.php?op=read&id=64348

West Papua akan diberikan kesempatan untuk melamar diri menjadi peninjau dalam MSG.

Direktur Jenderal sekretariat MSG di Port Vila, Peter Forau, memberitahukan kepada Radio Vanuatu bahwa hal ini telah disetujui minggu lalu pada pertemuan para Menlu MSG.

Akan tetapi, Forau mengatakan status peninjau bagi West Papua dimaksud dibentuk sebagai bagian dari kelompok yang mewakili Indonesia.

Pada KTT MSG di Fiji pada Maret lalu, Indonesia diberikan status peninjau.

Salah satu anggota MSG ialah Kanaks dari Gerakan Kaledonia Baru (ed, Melanesia).

 

News Content © Radio New Zealand International

PO Box 123, Wellington, New Zealand

Posted via email from Papua Posts

Melanesian Spearhead Group (MSG) akan Mengizinkan West Papua Melamar sebagai Status Peninjau

Posted at 20:55 on 11 November, 2011 UTC

Terjemahan PMNews dari sumber: http://www.rnzi.com/pages/news.php?op=read&id=64348

West Papua akan diberikan kesempatan untuk melamar diri menjadi peninjau dalam MSG.

Direktur Jenderal sekretariat MSG di Port Vila, Peter Forau, memberitahukan kepada Radio Vanuatu bahwa hal ini telah disetujui minggu lalu pada pertemuan para Menlu MSG.

Akan tetapi, Forau mengatakan status peninjau bagi West Papua dimaksud dibentuk sebagai bagian dari kelompok yang mewakili Indonesia.

Pada KTT MSG di Fiji pada Maret lalu, Indonesia diberikan status peninjau.

Salah satu anggota MSG ialah Kanaks dari Gerakan Kaledonia Baru (ed, Melanesia).

 

News Content © Radio New Zealand International

PO Box 123, Wellington, New Zealand

Posted via email from Papua Merdeka Podcast

Wednesday 9 November 2011

Penolakan Komunikasi Konstruktif Menguat

Selasa, 08 November 2011 00:07

JAYAPURA—Setelah  pihak DAP dan PDP yang diwakili Herman Awom menolak usulan komunikasi konstruktif untuk menyelesaikan masalah Papua sebagaimana diusulkan Sesmenkopolhukam Letjen (Purn) Hotma Panjaitan,  kini  giliran Ketua Komisi A DPR Papua Ruben Magay  juga menyatakan menolak. 

Saat  dihubungi  diruang kerjanya, Komisi  A  DPR Papua, Senin (7/11), Ruben Magai  mengatakan, Komunikasi konstruktif   adalah suatu  pendampingan terhadap pengawasan  program yang dilakukan pemerintah pusat.  Apabila  pemerintah pusat  menawarkan komunikasi konstruktif  mestinya disertai  konsep yang jelas. “Pemerintah pusat jangan bicara doang. Tapi harus menyampaikan  konsep  komunikasi  konstruktif  kepada rakyat Papua,”katanya.   

Politisi Partai Demokrat Papua ini  menjelaskan, Dialog Jakarta—Papua telah mempunyai  konsep yang  jelas. Bahkan telah  mendapat  kesepakatan  dari seluruh elemen masyarakat  Papua,  bahkan  pihak Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)  telah  menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah pusat  bahwa  untuk menyelesaikan masalah Papua dibutuhkan Dialog Jakarta—Papua bukan  komunikasi konstruktif atau  Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat  (UP4B), Tim Pemantau Evaluasi  Otsus  Aceh dan Papua dan  lain lain. 

“Kami menolak segala tawaran pemerintah pusat apabila tak sepenuhnya melibatkan Rakyat  Papua,” tukasnya. “Beda dengan Otsus Aceh yang penyusunannya  murni pemikiran  rakyat  Aceh.” 

Dia menegaskan, apabila Otsus  diberikan sebagai solusi  tuntutan agar Papua merdeka dan berdaulat  terlepas dari NKRI, seyogyanyalah, implementasi  Otsus melibatkan rakyat  Papua.     

Kata dia,  Dialog Jakarta—Papua nantinya  membahas 4 agenda penting masing masing Pelurusan  Sejarah 1 Desember 1961, Kontrak Karya PT Freeport Indonesia 7 April 1967, Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 serta  UU Otsus 2001.  

Pembahasan  Pelurusan  Sejarah 1 Desember 1961, Pemerintah Hindia Belanda  telah menyepakati  syarat syarat  Papua Barat berdiri sebagai suatu negara berdaulat. 

“1 Desember  selalu diperingati sebagai Hari Kemerdekaan Bangsa Papua Barat,” tuturnya.  

Selanjutnya, Kontrak Karya pemerintah Indonesia  dan PT Freeport Indonesia  dilaksanakan pada 7 April 1967 sebelum Papua Barat  dianeksasi  kedalam NKRI, apalagi   kesepekatan tersebut tak melibatkan  rakyat Papua  sebagai pemilik  hal ulayat  lokasi tambang emas  PTFI di Distrik Tembagapura, Kabupaten  Mimika. Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 serta  UU Otsus 2001 yang dinilai  gagal sejahterakan rakyat  Papua  dan karena rakyat Papua telah mengembalikannya kepada  pemerintah pusat.  

Dia menandaskan, masalah-masalah lain yang dibutuhkan rakyat Papua seperti  pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat serta  infrastruktur adalah kewajiban pemerintah pusat  untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua.(mdc/don/l03)

Posted via email from West Papua Merdeka Posterous

Penolakan Komunikasi Konstruktif Menguat

Selasa, 08 November 2011 00:07

JAYAPURA—Setelah  pihak DAP dan PDP yang diwakili Herman Awom menolak usulan komunikasi konstruktif untuk menyelesaikan masalah Papua sebagaimana diusulkan Sesmenkopolhukam Letjen (Purn) Hotma Panjaitan,  kini  giliran Ketua Komisi A DPR Papua Ruben Magay  juga menyatakan menolak. 

Saat  dihubungi  diruang kerjanya, Komisi  A  DPR Papua, Senin (7/11), Ruben Magai  mengatakan, Komunikasi konstruktif   adalah suatu  pendampingan terhadap pengawasan  program yang dilakukan pemerintah pusat.  Apabila  pemerintah pusat  menawarkan komunikasi konstruktif  mestinya disertai  konsep yang jelas. “Pemerintah pusat jangan bicara doang. Tapi harus menyampaikan  konsep  komunikasi  konstruktif  kepada rakyat Papua,”katanya.   

Politisi Partai Demokrat Papua ini  menjelaskan, Dialog Jakarta—Papua telah mempunyai  konsep yang  jelas. Bahkan telah  mendapat  kesepakatan  dari seluruh elemen masyarakat  Papua,  bahkan  pihak Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)  telah  menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah pusat  bahwa  untuk menyelesaikan masalah Papua dibutuhkan Dialog Jakarta—Papua bukan  komunikasi konstruktif atau  Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat  (UP4B), Tim Pemantau Evaluasi  Otsus  Aceh dan Papua dan  lain lain. 

“Kami menolak segala tawaran pemerintah pusat apabila tak sepenuhnya melibatkan Rakyat  Papua,” tukasnya. “Beda dengan Otsus Aceh yang penyusunannya  murni pemikiran  rakyat  Aceh.” 

Dia menegaskan, apabila Otsus  diberikan sebagai solusi  tuntutan agar Papua merdeka dan berdaulat  terlepas dari NKRI, seyogyanyalah, implementasi  Otsus melibatkan rakyat  Papua.     

Kata dia,  Dialog Jakarta—Papua nantinya  membahas 4 agenda penting masing masing Pelurusan  Sejarah 1 Desember 1961, Kontrak Karya PT Freeport Indonesia 7 April 1967, Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 serta  UU Otsus 2001.  

Pembahasan  Pelurusan  Sejarah 1 Desember 1961, Pemerintah Hindia Belanda  telah menyepakati  syarat syarat  Papua Barat berdiri sebagai suatu negara berdaulat. 

“1 Desember  selalu diperingati sebagai Hari Kemerdekaan Bangsa Papua Barat,” tuturnya.  

Selanjutnya, Kontrak Karya pemerintah Indonesia  dan PT Freeport Indonesia  dilaksanakan pada 7 April 1967 sebelum Papua Barat  dianeksasi  kedalam NKRI, apalagi   kesepekatan tersebut tak melibatkan  rakyat Papua  sebagai pemilik  hal ulayat  lokasi tambang emas  PTFI di Distrik Tembagapura, Kabupaten  Mimika. Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 serta  UU Otsus 2001 yang dinilai  gagal sejahterakan rakyat  Papua  dan karena rakyat Papua telah mengembalikannya kepada  pemerintah pusat.  

Dia menandaskan, masalah-masalah lain yang dibutuhkan rakyat Papua seperti  pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat serta  infrastruktur adalah kewajiban pemerintah pusat  untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua.(mdc/don/l03)

Posted via email from Papua Merdeka Podcast

Akhirnya, 7 Anggota TNI Ditahan Terkait Tindakan Kekerasan Terhadap 12 Warga Sipil di Karulu

Selasa, 08 November 2011 00:09

JAYAPURA- Dugaan tindakan kekerasan yang dilakukan anggota TNI-AD di Distrik Karulu, Kabupaten Jayawijaya, disikapi cepat oleh pimpinan TNI dalam hal pihak Korem 172/PWY.   Terkait dengan kasus tersebut,  tujuh anggota TNI dari Batalyon Infantri 755/Merauke Papua, diproseshukum, lantaran terindikasi melakukan penganiayaan terhadap warga sipil di Distrik Kurulu Kabupaten Jayawijaya Papua. Mereka saat ini sedang ditahan di Detasemen Polisi Militer Wamena.

Komandan Korem 172/PWY, Kolonel Ibnu Tri Widodo mengatakan, ketujuh prajurit itu diproses sesuai hukum yang berlaku, karena terbukti melakukan tindak kekerasan terhadap sejumlah warga Kurulu. “ Ketujuh prajurit tersebut menganiaya warga sipil dengan cara menyuruh warga merayap, lantas kemudian memukul, menendang bahkan merendam warga ke dalam air. Atas tindakan itu, mereka saat ini  sedang ditahan di Polisi Militer di Wamena,”ungkapnya.

Pasca tindakan kekerasan itu, lanjut Danrem, anggota yang bertugas di Kurulu langsung diganti. “Seluruh anggota pos Kurulu langsung kami ganti, dan disaksikan langsung warga masyarakat setempat. Sehingga warga tidak menuntut lagi,” paparnya.

Danrem mengatakan, pihaknya terus berupaya, anggotanya  tidak lagi bertindak arogan di kemudian hari. “Kedepan kami harus lebih baik dan tidak melakukan kekerasan lagi kepada warga masyarakat,”tandasnya.

Mengenai pangkat anggota yang melakukan kekerasan, Kata Danrem, antara sersan dan prajurit. Dan Posnya pangkat sersan, jadi para pelaku berpangkat sersan dan prajurit,” tandasnya.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, ada 12 warga sipil di Distrik Kurulu Kabupaten Jayawijaya Papua dianiaya oknum TNI. Penganiayaan terjadi 2 November lalu,  berawal dari pertemuan 12 warga Kampung Umpagala yang sedang membicarakan kegiatan masyarakat adat. Namun TNI menduga 12 orang tersebut merupakan bagian dari kelompok OPM. 12 orang warga sipil itu digiring dari Kampung Abusa menuju Pos TNI Batalyon 756 Kurulu. Selama dalam perjalanan, anggota TNI menganiaya ke-12 orang itu dengan bayonet. Atas penganiayaan tersebut para korban berencana mengadukan para anggota TNI itu ke Pengadilan Negeri Wamena Papua.

Nama kedua belas warga Papua yang dianiaya,  1. Melianus Wantik Activist KNPB 2. Edo Doga. Activist KNPB 3. Mark Walilo Activist KNPB 4. Philip Wantik masyarakt 5. Wilem Kosy Masyarakat 6. Elius Dabi Masyarakat 7. Lamber Dabi Masyarakat 8. Othi Logo Masyarakat 9. Nilik Hiluka masyarakt 10. Law Logo 11. Mabel Martin Masyarakat 12. Saul Logo Masyarakat.(jir/don/l03)

Posted via email from West Papua Merdeka Posterous

Akhirnya, 7 Anggota TNI Ditahan Terkait Tindakan Kekerasan Terhadap 12 Warga Sipil di Karulu

Selasa, 08 November 2011 00:09

JAYAPURA- Dugaan tindakan kekerasan yang dilakukan anggota TNI-AD di Distrik Karulu, Kabupaten Jayawijaya, disikapi cepat oleh pimpinan TNI dalam hal pihak Korem 172/PWY.   Terkait dengan kasus tersebut,  tujuh anggota TNI dari Batalyon Infantri 755/Merauke Papua, diproseshukum, lantaran terindikasi melakukan penganiayaan terhadap warga sipil di Distrik Kurulu Kabupaten Jayawijaya Papua. Mereka saat ini sedang ditahan di Detasemen Polisi Militer Wamena.

Komandan Korem 172/PWY, Kolonel Ibnu Tri Widodo mengatakan, ketujuh prajurit itu diproses sesuai hukum yang berlaku, karena terbukti melakukan tindak kekerasan terhadap sejumlah warga Kurulu. “ Ketujuh prajurit tersebut menganiaya warga sipil dengan cara menyuruh warga merayap, lantas kemudian memukul, menendang bahkan merendam warga ke dalam air. Atas tindakan itu, mereka saat ini  sedang ditahan di Polisi Militer di Wamena,”ungkapnya.

Pasca tindakan kekerasan itu, lanjut Danrem, anggota yang bertugas di Kurulu langsung diganti. “Seluruh anggota pos Kurulu langsung kami ganti, dan disaksikan langsung warga masyarakat setempat. Sehingga warga tidak menuntut lagi,” paparnya.

Danrem mengatakan, pihaknya terus berupaya, anggotanya  tidak lagi bertindak arogan di kemudian hari. “Kedepan kami harus lebih baik dan tidak melakukan kekerasan lagi kepada warga masyarakat,”tandasnya.

Mengenai pangkat anggota yang melakukan kekerasan, Kata Danrem, antara sersan dan prajurit. Dan Posnya pangkat sersan, jadi para pelaku berpangkat sersan dan prajurit,” tandasnya.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, ada 12 warga sipil di Distrik Kurulu Kabupaten Jayawijaya Papua dianiaya oknum TNI. Penganiayaan terjadi 2 November lalu,  berawal dari pertemuan 12 warga Kampung Umpagala yang sedang membicarakan kegiatan masyarakat adat. Namun TNI menduga 12 orang tersebut merupakan bagian dari kelompok OPM. 12 orang warga sipil itu digiring dari Kampung Abusa menuju Pos TNI Batalyon 756 Kurulu. Selama dalam perjalanan, anggota TNI menganiaya ke-12 orang itu dengan bayonet. Atas penganiayaan tersebut para korban berencana mengadukan para anggota TNI itu ke Pengadilan Negeri Wamena Papua.

Nama kedua belas warga Papua yang dianiaya,  1. Melianus Wantik Activist KNPB 2. Edo Doga. Activist KNPB 3. Mark Walilo Activist KNPB 4. Philip Wantik masyarakt 5. Wilem Kosy Masyarakat 6. Elius Dabi Masyarakat 7. Lamber Dabi Masyarakat 8. Othi Logo Masyarakat 9. Nilik Hiluka masyarakt 10. Law Logo 11. Mabel Martin Masyarakat 12. Saul Logo Masyarakat.(jir/don/l03)

Posted via email from Papua Merdeka Podcast

Amnesty Internasional Desak Kapolri Tindaklanjuti Temuan Komnas HAM di Papua

Selasa, 08 November 2011 21:59

JAYAPURA - Tim investigasi Komnas HAM menemukan berbagai dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat keamanan pada pembubaran Kongres Rakyat Papua 19 Oktober lalu. Pelanggaran HAM itu berupa penyiksaan dan penghilangan paksa nyawa warga.  Amnesty Internasional mendesak Kapolri segera menyelidiki pelanggaran HAM tersebut.  ‘’ Pihak berwenang Indonesia harus melakukan investigasi independen, menyeluruh dan efektif atas temuan Komnas HAM. Jika investigasi menemukan bahwa pasukan keamanan melakukan pembunuhan di luar hukum atau penyiksaan dan  perlakuan buruk lainnya, maka mereka harus bertanggung jawab, termasuk yang memegang komando lapangan, harus dituntut dalam proses yang memenuhi standar internasional tentang keadilan, dan korban diberikan reparasi,’’ ujar Josef Roy Benedict anggota Amnesty Internasional untuk kampanye  Indonesia & Timor-Leste melalui pesan elektroniknya Selasa 8 November.  

Jika pelanggaran HAM itu tidak diusut secara tuntas, akan semakin menguatkan adanya operasi militer di Papua, dan ini akan menghilangkan kepercayaan dunia akan keberadaan aparat keamanan di Papua. ‘’Kegagalan untuk membawa pelaku pelanggaran ini ke pengadilan yang adil, akan memperkuat persepsi, bahwa pasukan keamanan di Papua beroperasi atas nama hukum, lalu bertindak sewenang-wenang dan melanggar HAM, ini akan menciptakan iklim  ketidakpercayaan terhadap pasukan keamanan di sana,’’ucapnya. 

Sesuai temuan Komnas HAM,  ada tiga orang yang ditemukan tewas mengalami luka tembak di tubuh mereka. Namun, tidak dapat mengkonfirmasi apakah mereka dibunuh oleh polisi atau militer, untuk itu, telah meminta penyidik   polisi forensik untuk memeriksa peluru.
Menurut versi Komnas HAM juga menemukan bahwa setidaknya 96 peserta ditembak, ditendang atau dipukul oleh petugas polisi.

Komnas HAM lebih lanjut melaporkan bahwa, pasukan keamanan telah menyerbu sebuah biara Katolik dan seminari.  Mereka ditembak di gedung dan memecahkan jendela ketika para biksu menolak untuk menyerahkan warga yang diduga Polisi sebagai separatis. ‘’Banyak orang Papua sekarang takut meninggalkan rumah mereka, karena adanya penyisiran dari aparat keamanan secara terus menerus. Komnas HAM  juga mengangkat kekhawatiran bahwa pasukan keamanan telah menyita ponsel, komputer laptop, printer, kamera, mobil, sepeda motor dan jutaan rupiah uang tunai, dan menyerukan untuk item ini harus dikembalikan kepada pemilik,’’ungkapnya.

Penyelidikan Komnas HAM menunjukkan bahwa, pasukan keamanan tampaknya telah melanggar hak untuk hidup dan kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya, baik yang non-derogable bawah Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR), di mana Indonesia adalah negara yang menanda tanganinya. ‘’Dengan menggunakan kekerasan yang tidak perlu dan berlebihan dan senjata api terhadap peserta, oleh pasukan keamanan Indonesia, juga melanggar Konvensi Menentang Penyiksaan dan Kekejaman Lain, Perlakuan atau Hukuman, di mana Indonesia juga telah meratifikasi. Selain itu, hak semua orang di Indonesia untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya dijamin dalam konstitusi Indonesia dan UU tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,’’jelasnya.

Tindakan aparat keamanan juga tampak bertentangan dengan Prinsip-Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak Hukum yang menyediakan, antara lain, bahwa kekuatan harus digunakan hanya sebagai upaya terakhir, sebanding dengan ancaman yang ditimbulkan, dan harus dirancang untuk meminimalkan kerusakan atau cedera.

Rabu 19 Oktober 2011, Polisi dan unit militer melakukan tindak kekerasan terhadap peserta Kongres Papua Ketiga Rakyat, yang diadakan pertemuan damai di Abepura, Provinsi Papua. Mayat Demianus Daniel, Yakobus Samonsabara, dan Max Asa Yeuw itu ditemukan di dekat daerah Kongres. Diperkirakan 300 peserta sewenang-wenang ditangkap pada akhir Kongres. Lima orang dikenakan dijerat dengan pasal “pemberontakan” dan “penghasutan” di bawah Pasal 106, 110 dan 160 KUHP, sementara satu orang dijerat dengan pasal “kepemilikan senjata” berdasarkan UU Darurat No 12/1951.

Masih kata dia, Komnas HAM menyatakan, pernyataan pihak berwenang Indonesia bahwa Kongres adalah ilegal, sangat bertentangan dengan fakta. Bahwa, Menteri Indonesia Hukum, Politik dan Keamanan sebenarnya sudah memebrikan surat resmi menyetujui Kongres, bahkan mengarahkan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri, untuk menghadiri Kongres serta membacakan pidato pembukaan.

Komnas HAM juga membuat serangkaian rekomendasi termasuk meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mempercepat dialog dengan rakyat Papua dan untuk mengevaluasi penyebaran kehadiran keamanan yang besar di daerah tersebut.(jir/don/l03)

Posted via email from West Papua Merdeka Posterous

Amnesty Internasional Desak Kapolri Tindaklanjuti Temuan Komnas HAM di Papua

Selasa, 08 November 2011 21:59

JAYAPURA - Tim investigasi Komnas HAM menemukan berbagai dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat keamanan pada pembubaran Kongres Rakyat Papua 19 Oktober lalu. Pelanggaran HAM itu berupa penyiksaan dan penghilangan paksa nyawa warga.  Amnesty Internasional mendesak Kapolri segera menyelidiki pelanggaran HAM tersebut.  ‘’ Pihak berwenang Indonesia harus melakukan investigasi independen, menyeluruh dan efektif atas temuan Komnas HAM. Jika investigasi menemukan bahwa pasukan keamanan melakukan pembunuhan di luar hukum atau penyiksaan dan  perlakuan buruk lainnya, maka mereka harus bertanggung jawab, termasuk yang memegang komando lapangan, harus dituntut dalam proses yang memenuhi standar internasional tentang keadilan, dan korban diberikan reparasi,’’ ujar Josef Roy Benedict anggota Amnesty Internasional untuk kampanye  Indonesia & Timor-Leste melalui pesan elektroniknya Selasa 8 November.  

Jika pelanggaran HAM itu tidak diusut secara tuntas, akan semakin menguatkan adanya operasi militer di Papua, dan ini akan menghilangkan kepercayaan dunia akan keberadaan aparat keamanan di Papua. ‘’Kegagalan untuk membawa pelaku pelanggaran ini ke pengadilan yang adil, akan memperkuat persepsi, bahwa pasukan keamanan di Papua beroperasi atas nama hukum, lalu bertindak sewenang-wenang dan melanggar HAM, ini akan menciptakan iklim  ketidakpercayaan terhadap pasukan keamanan di sana,’’ucapnya. 

Sesuai temuan Komnas HAM,  ada tiga orang yang ditemukan tewas mengalami luka tembak di tubuh mereka. Namun, tidak dapat mengkonfirmasi apakah mereka dibunuh oleh polisi atau militer, untuk itu, telah meminta penyidik   polisi forensik untuk memeriksa peluru.
Menurut versi Komnas HAM juga menemukan bahwa setidaknya 96 peserta ditembak, ditendang atau dipukul oleh petugas polisi.

Komnas HAM lebih lanjut melaporkan bahwa, pasukan keamanan telah menyerbu sebuah biara Katolik dan seminari.  Mereka ditembak di gedung dan memecahkan jendela ketika para biksu menolak untuk menyerahkan warga yang diduga Polisi sebagai separatis. ‘’Banyak orang Papua sekarang takut meninggalkan rumah mereka, karena adanya penyisiran dari aparat keamanan secara terus menerus. Komnas HAM  juga mengangkat kekhawatiran bahwa pasukan keamanan telah menyita ponsel, komputer laptop, printer, kamera, mobil, sepeda motor dan jutaan rupiah uang tunai, dan menyerukan untuk item ini harus dikembalikan kepada pemilik,’’ungkapnya.

Penyelidikan Komnas HAM menunjukkan bahwa, pasukan keamanan tampaknya telah melanggar hak untuk hidup dan kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya, baik yang non-derogable bawah Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR), di mana Indonesia adalah negara yang menanda tanganinya. ‘’Dengan menggunakan kekerasan yang tidak perlu dan berlebihan dan senjata api terhadap peserta, oleh pasukan keamanan Indonesia, juga melanggar Konvensi Menentang Penyiksaan dan Kekejaman Lain, Perlakuan atau Hukuman, di mana Indonesia juga telah meratifikasi. Selain itu, hak semua orang di Indonesia untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya dijamin dalam konstitusi Indonesia dan UU tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,’’jelasnya.

Tindakan aparat keamanan juga tampak bertentangan dengan Prinsip-Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak Hukum yang menyediakan, antara lain, bahwa kekuatan harus digunakan hanya sebagai upaya terakhir, sebanding dengan ancaman yang ditimbulkan, dan harus dirancang untuk meminimalkan kerusakan atau cedera.

Rabu 19 Oktober 2011, Polisi dan unit militer melakukan tindak kekerasan terhadap peserta Kongres Papua Ketiga Rakyat, yang diadakan pertemuan damai di Abepura, Provinsi Papua. Mayat Demianus Daniel, Yakobus Samonsabara, dan Max Asa Yeuw itu ditemukan di dekat daerah Kongres. Diperkirakan 300 peserta sewenang-wenang ditangkap pada akhir Kongres. Lima orang dikenakan dijerat dengan pasal “pemberontakan” dan “penghasutan” di bawah Pasal 106, 110 dan 160 KUHP, sementara satu orang dijerat dengan pasal “kepemilikan senjata” berdasarkan UU Darurat No 12/1951.

Masih kata dia, Komnas HAM menyatakan, pernyataan pihak berwenang Indonesia bahwa Kongres adalah ilegal, sangat bertentangan dengan fakta. Bahwa, Menteri Indonesia Hukum, Politik dan Keamanan sebenarnya sudah memebrikan surat resmi menyetujui Kongres, bahkan mengarahkan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri, untuk menghadiri Kongres serta membacakan pidato pembukaan.

Komnas HAM juga membuat serangkaian rekomendasi termasuk meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mempercepat dialog dengan rakyat Papua dan untuk mengevaluasi penyebaran kehadiran keamanan yang besar di daerah tersebut.(jir/don/l03)

Posted via email from Papua Merdeka Podcast

Sunday 6 November 2011

West Papua Advocacy Team to Secretary of State Clinton on Indonesian military operation in Puncak Jaya, West Papua

The Honorable Hillary Clinton
Secretary of State
Department of State
Washington, D.C.

July 20, 2011

Secretary Clinton:

The West Papua Advocacy Team is writing to you on the eve of your visit to Indonesia to request that you use this opportunity to raise with senior Indonesians the Indonesian military operation that is occurring in the Puncak Jaya regency of West Papua.

Media reports have indicated that up to 600 Indonesian military (TNI) personal are involved in "sweeping" operations in the region. This operation is only the latest in a series of such operations which the Indonesian military has conducted in the Puncak Jaya region over many years. These operations have had a devastating human toll including civilian casualties, destruction of civilian homes, churches, public buildings gardens and livestock as well as broad displacement of civilians from towns and villages, often to nearby mountains and jungle. Due in part to routine military closure of these zones of conflict to humanitarian operations, displaced civilians suffer and die as a result of lack of food, shelter and access to medical care.

These operations have had a devastating human toll including civilian casualties, destruction of civilian homes, churches, public buildings gardens and livestock as well as broad displacement of civilians from towns and villages, often to nearby mountains and jungle. Due in part to routine military closure of these zones of conflict to humanitarian operations, displaced civilians suffer and die as a result of lack of food, shelter and access to medical care.

Typically, military forces, including forces which benefit from U.S. government equipment and training, fail to distinguish between those they are targeting, the lightly armed Free Papua Movement (the OPM), and the general public. While the OPM is committed to peaceful dialogue, it retains the right to self defense and protecting the local people if attacked. Although the security forces blame all incidents in the area on the OPM, many attacks on the TNI are by unknown attackers. Some of these arise as a result of disputes related to commercial interests among military units and/or with police units which compete over exploitation of natural resources and extortion of local and international commercial operations.

In the current sweep operation media reports indicate four civilians, including one women and 3 children, were wounded on July 12 when Indonesian troops from the Infantry Battalion 753, who are based in Nabire, fired into huts in the village of Kalome while searching for members of the Free Papua Movement (OPM). Thus far, the military has refused to acknowledge this incident.

In May the military began a "socializing program" in Puncak Jaya involving up to 300 Army, Air Force and Navy personnel . The program is proposed to include the renovating of homes, churches and markets. The military personnel, as part of the program, also lecture local Papuans at Papuans Sunday church gatherings. Local people, according to media and other accounts, have described the program as in reality only a shield and a cover-up of the military and police's violation of human rights abuses that have transpired in the region for many years.

Papuan civil society leaders, non-governmental organizations, churches and ordinary civilians have long called for transformation of Papua into a "Land of Peace," a concept that would demilitarize West Papua and end the Indonesian government's reliance on a "security approach" to address peaceful, political dissent. Currently, many Papuans are incarcerated in prisons due to their peaceful exercise of freedoms of speech and assembly which are denied them by the Indonesian government.

We urge you to use the opportunity of your visit to Indonesia to call on the Indonesian President to halt all military operations in West Papua and return all military personal to their barracks as a way of easing tension and saving lives. We also urge you to raise with senior Indonesians, the plight of dozens of Papuan prisoners of conscience who were jailed as result of peaceful dissent and who now face health and even life-threatening conditions in Indonesian notorious prisons.

Yours respectfully,

The West Papua Advocacy Team

Posted via email from Papua Posts

What Is the True Price of Freeport's Safety in Papua?

The Jakarta Globe November 5, 2011

by Nivell Rayda & Samantha Michaels

In the highlands of Mimika district in Papua, where temperatures can easily drop to a chilly 10 degrees Celsius, thousands of Freeport workers hold fast to their demands against the owner of one of the world’s largest open gold and copper mines.

Above the estimated 8,000 striking workers, some of whom wear nothing more than a traditional penis gourd and feather-covered head gear, Indonesia’s national flag is always waving.

It is a rare sight in this part of Indonesia, which has seen rising pro-independence sentiment among the indigenous people. But workers say the display of nationalism is deliberate — a way to convince security that their demonstration is a peaceful labor protest and not a separatist movement.

“We want to show that we love NKRI [the United Republic of Indonesia]. We don’t want to be seen as separatists,” said Virgo Solosa, an official from the All Indonesian Workers Union (SPSI).

“This is a labor issue. Our right to strike is guaranteed under Indonesian labor law.” 

Their worry stems in part from the relationship between security forces, which have been trying to stamp out a low-level insurgency in the province for decades, and Freeport Indonesia, which has provided $79.1 million to Indonesian police and military forces during the last 10 years.

“We do provide voluntary support for the security forces to secure our workplace. We have been doing it for years,” Freeport Indonesia spokesman Ramdani Sirait said in response to the National Police’s admission last week of the payments it called “lunch money.”

Freeport admitted as long ago as 2003 that it had been paying security forces since the 1970s and had established a formal arrangement in 1996.

Freeport spent $14 million to support government-provided security in 2010, according to Eric Kinneberg, spokesman for Freeport-McMoRan, the parent company of Freeport Indonesia.

The company detailed the disbursements in its annual “Working Toward Sustainable Development” report, which in past years showed expenditures of $10 million on government-provided security in 2009 and $8 million in 2008.

 

Added security

National Police spokesman Sr. Comr. Boy Rafly Amar has cited the insurgency issue to justify the need to provide added security.

“[Freeport] will never be able to defend themselves against these [armed rebel] threats just relying on their internal security team,” he said on Thursday.

“But at the same time, police cannot allocate such huge funds.” 

Indeed, many workers feel anything but safe.

“We don’t feel secure to work at Freeport or to travel between the mine and our homes,” said Juli Parorrongan, a spokesman for SPSI, which organized the strike. “Too many people have been killed, but we don’t know who’s shooting at us. We need policemen to guarantee our safety.”

A former employee of Freeport, who asked not to be identified, said that the 200,000-hectare mining area required at least 2,000 personnel, jointly provided by police, military and Freeport’s own security team.

“We operate in some of the most hostile environments in the world, not only in terms of remoteness but also security,” he said.

“Cars have been ambushed and shot at. Some of my friends have been killed. All officials are required to travel with armed police officers guarding.”

The attacks have been blamed on the separatist Free Papua Organization (OPM). The group has never admitted to attacking Freeport, though it claims shootings against the police and military.

The former employee also said police were ill-equipped to cope with the harsh environment.

“Their vehicles often broke down,” he said. “Freeport ended up providing them with four-wheel drive vehicles.”

 

Justified payments?

The National Police, Boy said, have an annual budget of Rp 4.2 trillion ($470 million) to support nationwide operations and pay the salaries of 400,000 officers.

“We cannot fully equip our members [assigned to guard Freeport] or provide patrol cars. But Freeport said they could and didn’t mind,” he said.

Former President Suharto’s administration did not fully fund the army’s budget, so soldiers were expected to set up their own local business ventures. But as they searched for ways to supplement their incomes, some exploited the local population and caused negative social, economic and environmental ripple effects.

 

“Such military activities would adversely impact [Freeport] employees and the surrounding community,” said Prakash Sethi, head of the New York-based International Center for Corporate Accountability, which led an audit of Freeport’s Indonesia mining operations between 2002 and 2007.

During the audit, Sethi visited the mine and spoke with workers, community members and management about Freeport’s performance in the areas of human rights, hiring, community development and other labor issues as well as the security payments.

“It is my interpretation that ... because the military did not have adequate facilities at the mine site, Freeport agreed to provide the military with ‘largely’ in-kind support in terms of housing and eating facilities,” Sethi wrote in an e-mail, adding that his audit did not examine how the military used those funds. “At the same time, some funding was provided for ‘miscellaneous expenses.’ ”

Freeport-McMoRan spokesman Kinneberg said 80 percent of the $14 million in security spending in 2010 was non-cash, in-kind support for meals, health care, facilities, housing, transportation and other support necessitated by the remote posting.

 

Questions arise

An April 19, 2011, letter sent by Papua Police chief of operations Sr. Comr. Rudolf A Rodja to the Commission for Missing Persons and Victims of Violence (Kontras), obtained by the Globe, states that security allowances were more than “incidental and administrative.”

“[Freeport’s] monthly contribution to the security task force members of the National Police and TNI amounts to Rp 1.25 million per person, directly provided to members of the security force by Freeport management,” Rudolf wrote.

The police spokesman defended the allowance.

“That’s only Rp 40,000 a day. Even if they want to spend it, the nearest shop is two and a half hours down the mountain,” Boy said.

Maj. Gen. Erfi Triasunu, chief of the Cendrawasih Military Command, which oversees operations in Papua, said military officers received the same amount in meals and snacks.

Those direct cash disbursements have left Freeport open to intense scrutiny by rights activists and the workers, who have been striking to request higher salaries, currently set at $1.50 to $3 per hour.

The workers are demanding a wage of $7.50 an hour, down from an initial demand for $30 to $200 per hour. The company has offered workers a 30 percent pay raise, up from 25 percent when the last set of talks began on Oct. 21.

“This is very unfair. The company pays the police much more than us,” Juli said.

“The company should care for us more than it cares for the outside forces.”

An even more pressing question is whether the payments affect the neutrality of the security forces.

Poengky Indarti, executive director of the Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial), said the payments could create a conflict of interest for the police, who are supposed to be serving the state. But Boy said the payments had no effect on police neutrality in the labor dispute.

On Oct. 10, police opened fire on striking Freeport workers who tried to board Freeport buses from a nearby town, Timika, to demonstrate by the mine’s gate.

Police cited a 2004 presidential decree classifying mining areas, including the Grasberg mine, as “national vital objects” to argue that they were obliged to protect Freeport’s assets — the buses. One striker died from gunshot wounds amid the ensuing chaos.

Juli said it was not until that incident that the police took a more neutral, cautious approach to the strike.

 

Questionable legality

The other question is whether the funds are legal at all.

“This provision of support is consistent with our obligations under our agreements with the respective governments, our philosophy of responsible corporate citizenship and the Voluntary Principles on Security and Human Rights,” Kinneberg said.

Ratified in 2000 by the UK and US governments along with energy and mining companies, the principles stipulate that “in cases where there is a need to supplement security provided by host governments, companies may be required or expected to contribute to, or otherwise

reimburse, the costs of protecting Company facilities and personnel borne by public security.”

But the principles also say that companies should consider the human-rights records of public security forces. In Indonesia’s case, human rights abuses by its military and police have long been a public issue.

The payments have also raised questions about whether Freeport has violated the US’s Foreign Corrupt Practices Act.

The Pittsburgh-based United Steelworks Union sent a letter on Tuesday to the US Department of Justice, asking the government to look into whether Freeport violated the FCPA by “engaging in what we believe is likely bribery of security forces in Indonesia.”

However, the US Justice Department has already looked into Freeport’s payments, ending its inquiries a few years ago without any resulting prosecution under the FCPA. Since 2003, the company has filed accounts of the security payments in an annual report with the US Securities and Exchange Commission.

“If the payments are not secret, if they are totally transparent, then I don’t think they can be seen as a bribe,” said Sethi, who specializes in international business and corporate codes of conduct. “The practice may be unsavory and maybe it shouldn’t be done, but having said that, it’s not the same thing as a violation of the Foreign Corrupt Practices Act.”

Firdaus Ilyas, a researcher from the Indonesia Corruption Watch, maintains the payments violate Indonesian laws.

“There is not a single rule that allows this,” he said. “They have to have a legal basis and the payment should be made to an account the public can scrutinize.”

ICW also questioned the size of the payments. According to Freeport reports, it grew from $4.7 million in 2001 to $14 million in 2010.

“You don’t buy vehicles every year, you don’t build police housing and barracks every year. People in the field only get Rp 1.25 million each per month. So where does the rest of the money go?” Firdaus said.

National Police chief Gen. Timur Pradopo said on Friday that an internal investigation had been launched into how much police received from Freeport.

“We welcome all sides to audit,” he said. “It is better for independent parties like the KPK [Corruption Eradication Commission] and the BPK [Supreme Audit Agency] to audit it.”

Additional reporting by Igor O’Neill and Farouk Arnaz

Posted via email from Papua Posts

Saturday 5 November 2011

Komite Nasional Papua Barat: Seruan Aksi Menyeluruh!!!

14 November 2011.
Surat Resmi dalam 

 Duduki Jantung Kota Diseluruh Tanah Air Papua Barat, Menolak Kompromistis Dengan Pemerintah Indonesia Dalam Bentuk Apapun Sebelum Ada Titik Terang Untuk Dilaksanakan Referendum Sebagai Jawaban Penyelesain Status Politik Bangsa Papua Barat. 
 Salam Revolusi!

Seruan melaksanakan aksi secara menyeluruh diseluruh tanah air Papua Barat, mulai dari Sorong sampai Samarai dan secara internasional di luar negeri. Aksi ini secara serempak wajib dilaksanakan sebagai lanjutan perjuangan dan cita-cita bangsa Papua Barat untuk menuntut pelaksanaan penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua Barat melalui mekanisme Referendum.

Akhir-akhir ini dengan banyaknya berjatuhan korban baik ditingkatan elemen masyarakat sipil maupun militer, pemerintah Indonesia di bawa kepemimpinan SBY-Boedionon belum mengambil komitmen untuk menyelesaikan persoalan bangsa Papua Barat, pemerintah terus menutup diri dan secara diam-diam menambah pasukan militer TNI-POLRI di tanah air Papua Barat.  

Peristiwa kekerasan, konflik, Pembunuhan dan pemaksaan terhadap penghilangan nyawa manusia bangsa Papua Barat kini sedang berlajut terus secara massif dan sistematis, tidak sedikit ratusan bahkan hamper mendekati jutaan ribu nyawa bangsa Papua Barat yang tak berdosa direnggut nyawanya.

Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibawah pimpinan rezim militeristik SBY-Boediono tetap ngotot meyelesakain persoalan bangsa Papua Barat dengan cara-cara militeristik, diantaranya adalah dengan cara pengiriman dan penambahan pasukan non-organik dalam jumlah banyak dengan dalil menjaga stabilitas keamanana dan atas nama keutuhan NKRI.

Situasi terus memanas sejak Timika bergejolak 15 September 2011, perusahaan tambang raksasa PT. Freeport secara leluasa mengitimidasi kaum buruh dan masyarakat adat setempat dengan cara membayar militer untuk membunuh mereka.

Insiden Zakeus 19 Oktober 2011 yang berbuntut dengan kematian 7 orang warga sipil  Penjaga Tanah Papua (PETAPA), sampai saat ini tidak ada satupun institusi sipil maupun militer milik pemerintah yang mengaku bertanggung jawab atas data korban. Pemerintah seolah-oleh mendiskriditkan perjuangan bangsa Papua sebagai komponen perjuangan separatis dan makar.

Pasca penembakan, Kapolsek Mulia, Puncak Jaya, Papua, AKP Dominggus Octovianus Awes, situasi Puncak Jaya semakin memanas, gabungan TNI-POLRI satu kompi dari Kelapadua-Jakarta diarahkan ke wilayah tersebut guna mengejar para geriliyawan Tentara Pembebasan Nasional (TPN), tembak menembak terjadi beberapa waktu, warga sipil banyak yang mengungsi ke hutan-hutan dan banyak yang mengalami serangan penyakit mematikan di antaranya batuk, muntaber, demam dll, hal tersebut juga dipicu akibat senjata kimia yang digunakan aparat dalam proses tembak-menembak.

Pemerintah Indonesia telah lupa bahwa rentetan peristiwa diatas terjadi merupakan akumualsi dari persoalan sejarah rekayasa politik PEPERA 1969 yang merupakan bentuk subsatasi persoalan dasar yang kini belum tuntas. Sejarah bangsa Papua Barat dimanipulasi kedalam bentuk sejarah bangsa Indonesia sebagai bagian dari pembenaran sejarah oleh kaum opurtunis watak cahuvinistik. Kini gejolak berdarah, konflik kepentingan dan rasa ketidak adilan terus mewarnai kolektifitas sosial bangsa Papua Barat yang tak kunjung ada habis-habisnya.

Dengan demikian, Mengingat beberapa rentetan peristiwa diatas sangat penting dan mendesak untuk di sikapi , maka Komite Nasional Papua Barat (KNPB) sebagai Media Nasional rakyat Papua Barat sekaligus penanggung jawab politik dalam negeri tanah air Papua Barat akan menyikapinya dalam bentuk aksi (demo) secara menyeluruh, dan,

 Menyerukan:  
  1. Kepada seluruh Kawan-kawan pimpinan KNPB Wilayah-Wilayah di Daerah, KNPB Konsulat Pasifik dan Konsulat Indonesia    untuk melakukan konsolidasi secara menyeluruh diseluruh wilayah tanah air untuk tujuan mobilisasi umum.
  2. Menyeruhkan kepada seluruh Elemen-elemen gerakan demokratik dan organisasi-organisasi perjuangan Papua Merdeka di seluruh wilayah negeri tanah air Papua Barat untuk turut terlibat dan berpartisipasi dalam agenda aksi nasional tersebut
  3. Menyerukan kepada para diplomat bangsa Papua Barat di Luar Negeri untuk terus lakukan lobi-lobi Internasional dengan membuka seluruh akses jaringan dan melakukan aksi serentak di negeranya masing-masin
  4. Aksi secara serentak dan menyeluruh dilakukan pada hari Selasa, 14 November 2011.

Demikian seruan aksi ini di keluarkan,

“Kita Harus Mengahkiri”

Port Numbay, 03 November 2011.

Koordinator Umum

Ttd

Victor Kogoya

Penanggung Jawab Politik Dalam Negeri

KOMITE NASIONAL PAPUA BARAT
(KNPB – PUSAT)

Buchtar Tabuni

Ttd
Ketua Umum

Posted via email from West Papua Merdeka Posterous

Komite Nasional Papua Barat: Seruan Aksi Menyeluruh!!!

14 November 2011.
Surat Resmi dalam 

 Duduki Jantung Kota Diseluruh Tanah Air Papua Barat, Menolak Kompromistis Dengan Pemerintah Indonesia Dalam Bentuk Apapun Sebelum Ada Titik Terang Untuk Dilaksanakan Referendum Sebagai Jawaban Penyelesain Status Politik Bangsa Papua Barat. 
 Salam Revolusi!

Seruan melaksanakan aksi secara menyeluruh diseluruh tanah air Papua Barat, mulai dari Sorong sampai Samarai dan secara internasional di luar negeri. Aksi ini secara serempak wajib dilaksanakan sebagai lanjutan perjuangan dan cita-cita bangsa Papua Barat untuk menuntut pelaksanaan penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua Barat melalui mekanisme Referendum.

Akhir-akhir ini dengan banyaknya berjatuhan korban baik ditingkatan elemen masyarakat sipil maupun militer, pemerintah Indonesia di bawa kepemimpinan SBY-Boedionon belum mengambil komitmen untuk menyelesaikan persoalan bangsa Papua Barat, pemerintah terus menutup diri dan secara diam-diam menambah pasukan militer TNI-POLRI di tanah air Papua Barat.  

Peristiwa kekerasan, konflik, Pembunuhan dan pemaksaan terhadap penghilangan nyawa manusia bangsa Papua Barat kini sedang berlajut terus secara massif dan sistematis, tidak sedikit ratusan bahkan hamper mendekati jutaan ribu nyawa bangsa Papua Barat yang tak berdosa direnggut nyawanya.

Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibawah pimpinan rezim militeristik SBY-Boediono tetap ngotot meyelesakain persoalan bangsa Papua Barat dengan cara-cara militeristik, diantaranya adalah dengan cara pengiriman dan penambahan pasukan non-organik dalam jumlah banyak dengan dalil menjaga stabilitas keamanana dan atas nama keutuhan NKRI.

Situasi terus memanas sejak Timika bergejolak 15 September 2011, perusahaan tambang raksasa PT. Freeport secara leluasa mengitimidasi kaum buruh dan masyarakat adat setempat dengan cara membayar militer untuk membunuh mereka.

Insiden Zakeus 19 Oktober 2011 yang berbuntut dengan kematian 7 orang warga sipil  Penjaga Tanah Papua (PETAPA), sampai saat ini tidak ada satupun institusi sipil maupun militer milik pemerintah yang mengaku bertanggung jawab atas data korban. Pemerintah seolah-oleh mendiskriditkan perjuangan bangsa Papua sebagai komponen perjuangan separatis dan makar.

Pasca penembakan, Kapolsek Mulia, Puncak Jaya, Papua, AKP Dominggus Octovianus Awes, situasi Puncak Jaya semakin memanas, gabungan TNI-POLRI satu kompi dari Kelapadua-Jakarta diarahkan ke wilayah tersebut guna mengejar para geriliyawan Tentara Pembebasan Nasional (TPN), tembak menembak terjadi beberapa waktu, warga sipil banyak yang mengungsi ke hutan-hutan dan banyak yang mengalami serangan penyakit mematikan di antaranya batuk, muntaber, demam dll, hal tersebut juga dipicu akibat senjata kimia yang digunakan aparat dalam proses tembak-menembak.

Pemerintah Indonesia telah lupa bahwa rentetan peristiwa diatas terjadi merupakan akumualsi dari persoalan sejarah rekayasa politik PEPERA 1969 yang merupakan bentuk subsatasi persoalan dasar yang kini belum tuntas. Sejarah bangsa Papua Barat dimanipulasi kedalam bentuk sejarah bangsa Indonesia sebagai bagian dari pembenaran sejarah oleh kaum opurtunis watak cahuvinistik. Kini gejolak berdarah, konflik kepentingan dan rasa ketidak adilan terus mewarnai kolektifitas sosial bangsa Papua Barat yang tak kunjung ada habis-habisnya.

Dengan demikian, Mengingat beberapa rentetan peristiwa diatas sangat penting dan mendesak untuk di sikapi , maka Komite Nasional Papua Barat (KNPB) sebagai Media Nasional rakyat Papua Barat sekaligus penanggung jawab politik dalam negeri tanah air Papua Barat akan menyikapinya dalam bentuk aksi (demo) secara menyeluruh, dan,

 Menyerukan:  
  1. Kepada seluruh Kawan-kawan pimpinan KNPB Wilayah-Wilayah di Daerah, KNPB Konsulat Pasifik dan Konsulat Indonesia    untuk melakukan konsolidasi secara menyeluruh diseluruh wilayah tanah air untuk tujuan mobilisasi umum.
  2. Menyeruhkan kepada seluruh Elemen-elemen gerakan demokratik dan organisasi-organisasi perjuangan Papua Merdeka di seluruh wilayah negeri tanah air Papua Barat untuk turut terlibat dan berpartisipasi dalam agenda aksi nasional tersebut
  3. Menyerukan kepada para diplomat bangsa Papua Barat di Luar Negeri untuk terus lakukan lobi-lobi Internasional dengan membuka seluruh akses jaringan dan melakukan aksi serentak di negeranya masing-masin
  4. Aksi secara serentak dan menyeluruh dilakukan pada hari Selasa, 14 November 2011.

Demikian seruan aksi ini di keluarkan,

“Kita Harus Mengahkiri”

Port Numbay, 03 November 2011.

Koordinator Umum

Ttd

Victor Kogoya

Penanggung Jawab Politik Dalam Negeri

KOMITE NASIONAL PAPUA BARAT
(KNPB – PUSAT)

Buchtar Tabuni

Ttd
Ketua Umum

Posted via email from Papua Posts

Komite Nasional Papua Barat: Seruan Aksi Menyeluruh!!!

14 November 2011.
Surat Resmi dalam 

 Duduki Jantung Kota Diseluruh Tanah Air Papua Barat, Menolak Kompromistis Dengan Pemerintah Indonesia Dalam Bentuk Apapun Sebelum Ada Titik Terang Untuk Dilaksanakan Referendum Sebagai Jawaban Penyelesain Status Politik Bangsa Papua Barat. 
 Salam Revolusi!

Seruan melaksanakan aksi secara menyeluruh diseluruh tanah air Papua Barat, mulai dari Sorong sampai Samarai dan secara internasional di luar negeri. Aksi ini secara serempak wajib dilaksanakan sebagai lanjutan perjuangan dan cita-cita bangsa Papua Barat untuk menuntut pelaksanaan penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua Barat melalui mekanisme Referendum.

Akhir-akhir ini dengan banyaknya berjatuhan korban baik ditingkatan elemen masyarakat sipil maupun militer, pemerintah Indonesia di bawa kepemimpinan SBY-Boedionon belum mengambil komitmen untuk menyelesaikan persoalan bangsa Papua Barat, pemerintah terus menutup diri dan secara diam-diam menambah pasukan militer TNI-POLRI di tanah air Papua Barat.  

Peristiwa kekerasan, konflik, Pembunuhan dan pemaksaan terhadap penghilangan nyawa manusia bangsa Papua Barat kini sedang berlajut terus secara massif dan sistematis, tidak sedikit ratusan bahkan hamper mendekati jutaan ribu nyawa bangsa Papua Barat yang tak berdosa direnggut nyawanya.

Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibawah pimpinan rezim militeristik SBY-Boediono tetap ngotot meyelesakain persoalan bangsa Papua Barat dengan cara-cara militeristik, diantaranya adalah dengan cara pengiriman dan penambahan pasukan non-organik dalam jumlah banyak dengan dalil menjaga stabilitas keamanana dan atas nama keutuhan NKRI.

Situasi terus memanas sejak Timika bergejolak 15 September 2011, perusahaan tambang raksasa PT. Freeport secara leluasa mengitimidasi kaum buruh dan masyarakat adat setempat dengan cara membayar militer untuk membunuh mereka.

Insiden Zakeus 19 Oktober 2011 yang berbuntut dengan kematian 7 orang warga sipil  Penjaga Tanah Papua (PETAPA), sampai saat ini tidak ada satupun institusi sipil maupun militer milik pemerintah yang mengaku bertanggung jawab atas data korban. Pemerintah seolah-oleh mendiskriditkan perjuangan bangsa Papua sebagai komponen perjuangan separatis dan makar.

Pasca penembakan, Kapolsek Mulia, Puncak Jaya, Papua, AKP Dominggus Octovianus Awes, situasi Puncak Jaya semakin memanas, gabungan TNI-POLRI satu kompi dari Kelapadua-Jakarta diarahkan ke wilayah tersebut guna mengejar para geriliyawan Tentara Pembebasan Nasional (TPN), tembak menembak terjadi beberapa waktu, warga sipil banyak yang mengungsi ke hutan-hutan dan banyak yang mengalami serangan penyakit mematikan di antaranya batuk, muntaber, demam dll, hal tersebut juga dipicu akibat senjata kimia yang digunakan aparat dalam proses tembak-menembak.

Pemerintah Indonesia telah lupa bahwa rentetan peristiwa diatas terjadi merupakan akumualsi dari persoalan sejarah rekayasa politik PEPERA 1969 yang merupakan bentuk subsatasi persoalan dasar yang kini belum tuntas. Sejarah bangsa Papua Barat dimanipulasi kedalam bentuk sejarah bangsa Indonesia sebagai bagian dari pembenaran sejarah oleh kaum opurtunis watak cahuvinistik. Kini gejolak berdarah, konflik kepentingan dan rasa ketidak adilan terus mewarnai kolektifitas sosial bangsa Papua Barat yang tak kunjung ada habis-habisnya.

Dengan demikian, Mengingat beberapa rentetan peristiwa diatas sangat penting dan mendesak untuk di sikapi , maka Komite Nasional Papua Barat (KNPB) sebagai Media Nasional rakyat Papua Barat sekaligus penanggung jawab politik dalam negeri tanah air Papua Barat akan menyikapinya dalam bentuk aksi (demo) secara menyeluruh, dan,

 Menyerukan:  
  1. Kepada seluruh Kawan-kawan pimpinan KNPB Wilayah-Wilayah di Daerah, KNPB Konsulat Pasifik dan Konsulat Indonesia    untuk melakukan konsolidasi secara menyeluruh diseluruh wilayah tanah air untuk tujuan mobilisasi umum.
  2. Menyeruhkan kepada seluruh Elemen-elemen gerakan demokratik dan organisasi-organisasi perjuangan Papua Merdeka di seluruh wilayah negeri tanah air Papua Barat untuk turut terlibat dan berpartisipasi dalam agenda aksi nasional tersebut
  3. Menyerukan kepada para diplomat bangsa Papua Barat di Luar Negeri untuk terus lakukan lobi-lobi Internasional dengan membuka seluruh akses jaringan dan melakukan aksi serentak di negeranya masing-masin
  4. Aksi secara serentak dan menyeluruh dilakukan pada hari Selasa, 14 November 2011.

Demikian seruan aksi ini di keluarkan,

“Kita Harus Mengahkiri”

Port Numbay, 03 November 2011.

Koordinator Umum

Ttd

Victor Kogoya

Penanggung Jawab Politik Dalam Negeri

KOMITE NASIONAL PAPUA BARAT
(KNPB – PUSAT)

Buchtar Tabuni

Ttd
Ketua Umum

Posted via email from Papua Merdeka Podcast

Jangan Lihat Masalah Papua dari Belakang Meja

Jakarta - Untuk mengatasi konflik dan separatisme di Papua jangan hanya memantau dari jauh saja. Pemerintah pusat diminta terjun langsung ke lapangan dan melakukan dialog.”Kita yang datang ke Papua, bukan Papua ke sini,” kata mantan Mensesneg era Gus Dur, Bondan Gunawan dalam diskusi POLEMIK Sindo Radio bertajuk ‘Konflik Papua tak Kunjung Usai’ di Warung Daun, Cikin, Jakarta, Sabtu (29/10/2011).
“Masuk ke dalam, cobalah cari informasi. Jangan melihat Papua hanya dari belakang meja,” tegasnya.

Bondan menceritakan pengalamannya saat mengatasi konflik di Aceh beberapa tahun lalu. Saat itu, dia ditugaskan langsung oleh Gus Dur untuk berdialog dengan para pemuka masyarakat di Serambi Makkah.

“Yang namanya krisis. Harus ditangani dengan manajemen krisis pula,” tambah pria berpeci ini.

Jika hal itu tidak dilakukan, Bondan mengkhawatirkan konflik akan terus terjadi. Bahkan, keinginan merdeka itu akan semakin kuat.

“Nanti orang yang tadinya nggak sakit hati. Kalau dibiarkan terus orang juga akhirnya akan keluar dari NKRI,” imbuhnya.

(mad/lh)

Posted via email from Papua Merdeka Podcast

Dialog dengan Masyarakat Papua Tidak Harus Berujung Merdeka

Jakarta - Solusi untuk menyelesaikan konflik kekerasan di Papua hanya lewat dialog antara warga Papua dan pemerintah. Namun sebelum dialog, kedua belah pihak harus memiliki visi yang sama, tidak ada kata merdeka.”Kesadaran itu harus dari dua-duanya. Bagi teman-teman Papua, dialog itu artinya merdeka. Jadi, pemerintah juga tutup diri. Minta dialog pun tidak akan diberi,” kata peneliti LIPI Adriana Elisabeth dalam acara POLEMIK Sindo Radio di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (29/10/2011).Menurut Adriana, pola pikir berujung merdeka itulah yang membuat proses dialog tersebut mandek. Karena itu, dia meminta agar semua pihak mau membuka diri.
Mantan Mensesneg era Gus Dur, Bondan Gunawan menambahkan, baik pemerintah dan warga Papua harus terus berjuang untuk mempersatukan semua masyarakat Papua.

“Jangan takut dengan kecurigaan dan prasangka yang belum jelas dasarnya. Kalau takut, mundur saja dari upaya mempersatukan Papua,” tegasnya.

Anggota Komisi I DPR asal Papua Paskaliss Kossay juga melihat dialog sebagai solusi yang terbaik. Namun, bagi dia, perlu ada koordinasi yang lebih baik antara aparat pusat dan daerah.

“Semulus apa pun yang diinginkan Presiden kita, realita di lapangan sedikit bertentangan dengan apa yang diinginkan masyarakat. Kebijakan Presiden sungguh luar biasa. Tetapi, kenyataannya sangat berbeda,” kritiknya.

(mad/aan)

Posted via email from Papua Merdeka Podcast

Papua Merdeka: Kalau BIN Sudah Tahu, Deklarasi Papua Merdeka Harusnya Dicegah

Hery Winarno – detikNews

Jakarta – Komisi I DPR mengatakan BIN sudah mengetahui akan adanya Kongres Rakyat Papua. Namun pemerintah terkesan melakukan pembiaran.

Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso pun menyayangkan hal tersebut. Menurutnya bila sudah ada laporan dari intelijen, aparat terkait harus bisa melakukan cegah dini, sehingga tidak akan terjadi deklarasi.

“Mestinya kalau ada temuan intelijen seperti itu, bisa dicegah tangkal dini. Itu lebih baik dari pada menunggu kejadian, sehingga tidak perlu terjadi kongres, yang berujung pada pendeklarasian,” ujar Priyo kepada wartawan di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (21/10/2011).

Namun Priyo tetap mendukung adanya tindakan tegas dalam aksi pendeklarasian Papua Barat Merdeka itu. Menurutnya tidak boleh ada yang berusaha mendirikan negara baru di NKRI.

“Tapi kalau mendeklarasikan diri, Papua Barat Merdeka dan ada presidennya ya sudah tindak tegas saja dan tangkap,” terangnya.

Sebelumnya,anggota Komisi I DPR Helmy Fauzi mengatakan BIN sudah mengetahui akan adanya Kongres Rakyat Papua.

“Beberapa waktu yang lalu BIN sudah pernah menyampaikan akan ada Kongres Rakyat Papua pada Komisi I. Kita melihat masalah Papua ini api dalam sekam,” kata Helmy, di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (21/10).

Helmy pun menilai ada pembiaran dari pemerintah atas informasi dari BIN. Karena pemerintah tidak melakukan pencegahan dini atas masalah ini.

Menurutnya penangkapan dan pembunuhan sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Oleh karenanya, lanjut Helmy, diperlukan pendekatan lain dalam menangani Papua.

“Jangan sampai eskalasi ini memperluas efek. Ketika mereka ditangkap, ada berapa banyak keluarganya yang kecewa. Ini yang harus kita cegah,” imbuhnya.

(her/rdf)

Posted via email from Papua Merdeka Podcast

Tuntutan Referendum Papua (Antara Problem Domestik & Kepentingan Asing)

Posted: 9 August 2011 by keepfight in Analisis, BERITA TERBARU, OPINI, POLITIK

Tags: Tuntutan Referendum Papua 0

Oleh : Harits Abu Ulya (Direktur The CIIA -Community Of Ideological Islamic Analyst)

Papua kembali memanas, dua peristiwa terpisah telah meletup. Pertama, bentrokan berdarah di kabupaten Puncak yang dipicu masalah Pilkada, hampir 20 orang tewas sia-sia.Kedua, serangan yang diduga dilakukan oleh OPM (Organisasi Papua Merdeka). Pertama di wilayah Pinai, kedua di wilayah Nafri (1/8) akibatnya, empat orang tewas, tiga luka berat dan dua luka ringan. Peristiwa kedua diduga terkait seminar di London oleh ILWP (International Lawyer for West Papua). Penyerangan itu diduga sebagai dukungan terhadap seminar yang diselenggarakan oleh ILWP, dengan targetnya untuk mengangkat masalah kemerdekaan Papua pada tingkat internasional (internasionalisasi). Dan hingga kini, sikon sosial politik cukup rentan kontraksi melalui riak-riak kecil kekerasan.

Sementara itu pada 1 Agustus di beberapa kota di Papua seperti di Jayapura, Nabire, Timika dan Manokwari terjadi demontrasi mendukung kemerdekaan Papua yang konon diikuti oleh ribuan orang dari berbagai kota itu.Komite Nasional untuk Papua Barat (KNPB) yang mengkoordinasikan demonstrasi itu menyatakan dengan jelas bahwa demonstrasi itu dimaksudkan sebagai dukungan terhadap konferensi yang dilakukan di London oleh ILWP. Konferensi itu sendiri diselenggarakan di East School of the Examination Schools, 75-81 High Street, Oxford. Tema yang diusung tentang kemerdekaan Papua: “West Papua ? The Road to Freedom”. Diantara pembicaranya adalah John Saltford, akademisi Inggris pengarang buku “Autonomy of Betrayal”, Benny Wenda pemimpin FWPC yang tinggal di Inggris, Ralph Regenvaru, Menteri Kehakiman Vanuatu, saksi Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 Clement Ronawery dan Anggota Ahli Komite PBB untuk Pengurangan Diskriminasi terhadap Perempuan Frances Raday. Sementara dari Provinsi Papua telah diundang untuk berbicara melalui video-link di konferensi tersebut yaitu Dr. Benny Giay dan Pendeta Sofyan Yoman.

Jika diklaim bahwa konferensi itu dilakukan untuk mencari formula penyelesaian masalah Papua, terkesan timpang. Sebab yang diundang hanya pembicara yang pro kemerdekaan. Sementara tokoh yang berbeda pendapat seperti Franz Albert Joku dan Nick Messet di Papua yang jelas-jelas mempunyai perhatian yang besar terhadap kedamaian dan kesejahteraan masyarakat di Papua dan lainnya malahan tidak diberi kesempatan untuk bicara.

 

Internasionalisasi Paket Referendum

Upaya Internasionalisasi masalah Papua bukan kali ini saja tapi sudah berlangsung lama. Konferensi oleh ILWP itu diadakan seiap tahun. Tahun lalu juga diadakan di Inggris. Misalnya pada 25 Oktober 2000, Direktur Lembaga Study dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua, John Rumbiak menandatangani Momerandum of Understanding (MoU) dengan Greg Sword, anggota parlemen tingkat negara bagian Melbourne dari Partai Buruh. Sejak tahun 2000, Bob Brown dari partai Hijau dan senator aktif memotori terbentuknya Parliamentary Group on West Papua. Ada juga Senator Kerry Nettle dari Partai Hijau terlibat memperjuangkan suaka politik bagi 42 warga Papua. Bahkan, pada 2 April 2006 Nettle mendapatkan penghargaan “Mahkota Papua” dari kelompok pro-separatis di Sydney. Selain itu ada juga, Senator Andrew Barlet dari Partai Demokrat Australia, ia mendukung kampanye penentuan nasib (self determination) bagi rakyat Irian Jaya. Barlet juga pernah mengirimkan surat kepada Sekjen PBB untuk meninjau kembali keabsahan Pepera 1969.

Parliamentary Group on West Papua yang dimotori oleh Bob Brown juga didukung oleh organisasi internasional seperti Asia Pacific Human Rights Network (APHRN), West Papua Action Australia (WPA-A), Action in Solidarity With East Timor (ASIET), Australian Council for Overseas Aid (ACFOA), East Timor Action Network (ETAN) dan The Centre for People and Conflict Studies The Unversity of Sydney. Lembaga yang terakhir itu memiliki proyek yang disebut West Papua Project (WPP) dan dipimpin oleh Prof Stuart Rees, seorang peneliti dan penulis tentang Indonesia.

Kalau kali ini pemerintah juga mensinyalir ada pihak asing yang bermain (melalui Menhan Purnomo), bisa jadi data mereka benar. Kalau kita kaji, langkah internasionalisasi masalah Papua oleh sebagian pihak memiliki substansi; mendorong PBB atau dunia internasional untuk meninjau kembali bergabungnya Papua dengan Indonesia. Dan harus menyatakan Pepera 1969 sebagai sesuatu yang tidak sah. Berikutnya, jika hal itu diterima oleh PBB dan dunia internasional, konsekuensinya adalah rakyat Papua harus diberikan hak untuk menentukan nasib mereka sendiri dan itu artinya harus dilaksanakan referendum.

 

Pemerintah RI Masih Ambigu?

Pemerintah RI seharusnya harus cepat bergerak dan mengambil sikap kongkrit. Kasus Papua tidak membutuhkan retorika, bahkan yang lebih picik di jadikan kosumsi politik untuk kepentingan partai dan kelompok tertentu. Orang yang melek politik akan membaca, betapa Demokrasi yang dianut dan diagung-agungkan sangat niscaya mempersembahkan buah simalakama yang kesekian kalinya untuk Indonesia; dengan lepasnya Papua dari NKRI. Kenapa tidak?, variable-variabel yang menjadi stimulant ke arah sana lebih dominant dibanding tindakan dan kebijakan riil politik pemerintah RI yang bisa mengikat Papua dalam kesetaraan (ekonomi, politik, social budaya, hukum dan pendidikan) sebagaimana bagian dan wilayah yang ada di pulau Jawa.

Referendum adalah metode yang efektif dan mampu meminimalisir resiko korban untuk meraih “kemerdekaan” dalam ruang dan koridor demokrasi. Langkah internasionalisasi, di dukung langkah soft strategi di lokal Papua seperti stimulus kepada masyarakat dalam bentuk aksi damai, kemudian dewan perwakilan rakyat Papua atau semisalnya mengakomodir dan mendorong lahirnya regulasi yang memayungi “referendum”. Di sisi lain, isu tentang penegakkan HAM dan demokrasi akan terus di kumandangkan oleh para penjaganya (LSM-LSM komprador), di tambah opini dilevel internasional dan keterlibatan negara Asing dalam isu Papua, maka inilah jalan lempang kepada tatanan NKRI dalam geografis yang lebih sempit lagi.

Apa yang dilakukan oleh pemerintah RI dengan menggelontorkan dana Otsus besar-besaran tidak merubah kondisi apapun. Karena suntikan dana ada di cawan yang bocor sana-sini. Korupsi juga sudah membudaya diberbagai level, kondisi masyarakat Papua selama bergabung dengan Indonesia yang 65 tahun lebih merdeka ternyata juga belum merdeka dari “keterbelakangan” diberbagai sektor dan aspek. Pendekatan-pendekatan militeristik oleh RI makin menambah luka dan luka disekujur tubuh masyarakat Papua. Pendekatan yang tidak memanusiakan manusia Papua, tanpa berusahan intropeksi diri dengan memperketat pembenahan infrastruktur dan kinerja struktur pemerintahan daerah yang betul-betul mampu melahirkan dampak riil pada perubahan nasib kehidupan ekonomi, social, politik, pendidikan dan budayanya.Bahkan yang lebih krusial adalah pengelolaan SDA yang wajib mencerminkan pemerintah RI bukan lintah penghisab kekayaan masyarakat Papua, atau bukan hanya sebagai broker dengan secuil keuntungan dan membiarkan para perampok (pihak Asing) dengan tamaknya mengeksploitasi habis-habisan kekayaan Papua. Fakta berbicara sebaliknya, sangat memprihatinkan, bahkan semua legal dibawah Undang-Undang.

 

Belajar dari Eksistensi Freeport (PT FI)

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Kontrak Karya atau Contract of Work Area yang ditangani pemerintah Orba yang serbakorup telah mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat. Sejak awal kehadiran PT FI di Mimika (Kontrak Karya I, 7 April 1967) telah memicu konflik-konflik baru, utamanya dengan masyarakat adat setempat (Suku Amungme dan Komoro).

Perlakuan yang tidak akomodatif dari pemerintah dan PT FI terhadap tuntutan masyarakat setempat mengakibatkan protes-protes yang terus-menerus baik dilakukan secara terbuka maupun secara laten. Freeport beroperasi di Indonesia berdasarkan Kontrak Karya yang ditandatangani pada tahun 1967 berdasarkan UU 11/1967 mengenai PMA. Dan di tahun 2041, barulah PT FI kembali menjadi “milik” NKRI.

Lalu siapa yang menikmati hasil dari PT FI selama ini? Negara tidak memiliki kontrol sama sekali atas kegiatan operasional perusahaan. Negara hanya memperoleh royalty yang besarnya ditentukan dalam KK tersebut.

Untuk tembaga, royalty sebesar 1,5% dari harga jual (jika harga tembaga kurang dari US$ 0.9/pound) sampai 3.5% dari harga jual (jika harga US$ 1.1/pound). Sedangkan untuk emas dan perak ditetapkan sebesar 1% dari harga jual.

Lalu siapa yang mendapat keuntungan lebih besar dari semua itu? Tentu saja yang mendapat “kue raksasa” ini adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pengeleolaan pertambangan ini. Menurut kantor berita Reuters (“PR”, 18/3 2006) dinyatakan bahwa empat Big Boss PT FI paling tidak menerima Rp 126,3 miliar/bulan. Misalnya Chairman of the Board, James R Moffet menerima sekira Rp 87,5 miliar lebih perbulan dan President Director PT FI, Andrianto Machribie menerima Rp. 15,1 miliar per bulan.

Sementara PTFI sendiri mendapat sepuluh kali lipat dari jumlah bagian deviden yang diterima pemerintah RI. Jika sebagai pemegang saham 9,36% saja pemerintah mendapatkan deviden Rp 2 Triliun, maka Freeport McMoran sebagai induk dari PTFI (pemegang 90,64% saham PTFI) akan mendapat deviden +/- Rp 20 Triliun di tahun 2009.

Lalu apa yang diperoleh masyarakat Papua? Keberadaan PTFI ternyata tidak membawa berkah bagi masyarakat Papua, sebaliknya banyak mendatangkan petaka. Sejak awal keberadaan PTFI, penguasaan tanah adat oleh masyarakat Papua terancam. Dalam satu klausul KK nya, Freeport diperkenankan untuk memindahkan penduduk yang berada dalam area KK nya. Itu artinya, Freeport dibenarkan untuk menguasai tanah adat dan memindahkan penduduk yang ada di area yang dikuasainya. Padahal ketentuan itu bertentangan dengan UU No 5/1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria. Namun nyatanya ketentuan KK itu lah yang dilaksanakan.

Masalah berikutnya dalah masalah lingkungan. Diataranya, “tanah adat 7 suku, diantaranya amungme, diambil dan dihancurkan pada saat awal beroperasi PTFI. Limbah tailing PT FI telah menimbun sekitar 110 km2 wilayah estuari tercemar, sedangkan 20 – 40 km bentang sungai Ajkwa beracun dan 133 km2 lahan subur terkubur. Saat periode banjir datang, kawasan-kawasan suburpun tercemar Perubahan arah sungai Ajkwa menyebabkan banjir, kehancuran hutan hujan tropis (21 km2), dan menyebabkan daerah yang semula kering menjadi rawa. Para ibu tak lagi bisa mencari siput di sekitar sungai yang merupakan sumber protein bagi keluarga. Gangguan kesehatan juga terjadi akibat masuknya orang luar ke Papua. Timika, kota tambang PT FI , adalah kota dengan penderita HIV AIDS tertinggi di Indonesia” (www.jatam.org).

Masalah lain adalah masalah HAM. Banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah kerja Freeport yang ditengarai dilakukan untuk menjamin keberlangsungan operasional perusahaan.

 

Pertarungan Internasional

Tak bisa dipungkiri bahwa selama ini Amerikalah yang menangguk keuntungan terbesar dari eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam di Papua, kalau tidak boleh dikatakan satu-satunya. Dan diyakini kekayaan yang masih tersimpan di balik bumi Papua jauh lebih besar lagi. Tentu saja semua itu akan membuat negara dan para kepitalis di luar Amerika meneteskan air liur dan iri untuk bisa ikut menikmatinya. Karena itu dalam masalah Papua pasti juga terjadi pertarungan kekuatan internasional. Aromanya pun memang bisa dicium dengan kuat, mereka bermain dengan isu Demokratisasi, HAM dan Lingkungan.Inggris dengan operasi intelijennya juga respek pada Papua, Australia juga selalu mencari celah-celah untuk ambil keuntungan, dan begitu juga negara-negara kecil di kawasan Pasifik.Mereka mengimpikan bisa mendapatkan berkah “mutiara hitam” Papua.

Jika dilihat pada tingkat internasional, selama ini AS menggunakan kasus Papua sebagai alat penekan. Misalnya, AS menggunakan kasus pelanggaran HAM diantaranya yang terjadi di Papua untuk sebagai alasan menjatuhkan embargo terhadap TNI. Padahal selama ini sudah menjadi rahasia umum jika keberadaan TNI termasuk Polri ditengarai banyak demi kepentingan PT FI yang nota bene mengalirkan kekayaan bumi Papua ke AS. Begitu pula saat anggota Kongres AS yaitu Donald M. Payne (asal Newark, New Jersey) dan Eni FH Faleomafaega (Samoa Amerika) yang membuat surat kepada Menteri Luar Negeri AS dan Sekjen PBB tahun 2005, mempersoalkan legalitas proses bergabungnya Papua ke dalam NKRI melalui PAPERA pada 14 Juli-2 Agustus 1969, saat itu sedang terjadi negosiasi tentang pengelolaan Blok Cepu yang akhirnya PSC (Production Sharing Contract)-nya didapat oleh Exxon Mobile tahun 2006 tepatnya setelah kunjungan Menlu AS kala itu Condoleeza Rice pada 14-15 Maret 2006. Entah ada hubungannya atau tidak, yang jelas setelah kontrak PSC blok Cepu yang memiliki cadangan minyak lebih dari 2 miliar barel diperoleh Exxon Mobile, pihak-pihak di AS pun tidak lagi getol menyuarakan kasus Papua.

Adapun negara yang secara terbuka mendukung propaganda kemerdekaan Papua sebenarnya tidak banyak. Hanya beberapa negara kecil di Pasifik. Tercatat hanya negara Solomon, Nauru dan Vanuatu tiga negara kecil di Pasifik yang terang-terangan mendukung kemerdekaan Papua. Bahkan berbagai gerakan separatis OPM, secara legal telah membuka perwakilan di Vanuatu, memanfaatkan gerakan melanesian brotherhood.

Di sisi lain Australia memiliki sikap terbuka yang berubah-ubah mengikuti partai yang berkuasa. Dukungan dari pihak-pihak di Australia diberikan oleh beberapa senator, akademisi dan beberapa orang dari kalangan media. Dukungan pemerintah Australia terlihat menguat ketika Partai hijau berkuasa. Namun secara terus menerus Australia menjadi salah satu basis propaganda pro kemerdekaan Papua. Peran Australia ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Inggris mengingat secara tradisional para politisi dan kebijakan Australia banyak dipengaruh oleh Inggris.

Diluar semua itu, Inggris sebenarnya tidak bisa dikatakan terlepas dari pertarungan dalam kasus Papua. Memang sikap Inggris yang formal mengakui kedaulatan dan keutuhan NKRI termasuk di dalamnya Papua adalah bagian integral dari NKRI. Namun sudah menjadi semacam rahasia umum bahwa meski sikap formalnya demikian, negara-negara barat juga kerap menjalankan aktifitas rahasia melalui dinas intelijennya. Dalam kasus mencuatnya video penyiksaan di Papua pada tahun lalu, misalnya, kampanye Free West Papua yang merilis video penyiksaan TNI terhadap anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM), ternyata mendapat dukungan dari politisi Inggris terutama yang ada di Parlemen. Badan Intelijen Inggris, Secret Intelligence Service (SIS) atau M16, diduga berada di balik sikap dukungan parlemen Inggris terhadap kemerdekaan Papua itu. Kemampuan M16 sudah teruji sejak Perang Dunia I dan II. Bahkan M16 terlibat dalam sejumlah kudeta penggulingan kekuasaan di berbagai negara.

Begitu pula dukungan Inggris itu tampak dari “ditampungnya” tokoh kemerdekaan Papua, Benny Wenda. Benny Wenda yang tinggal di Inggris, mendirikan Parlemen Internasional untuk Papua Barat (IPWP) pada Oktober 2008. Ia mendapat dukungan dari sejumlah politisi, terutama yang berada di Inggris. Dia pula yang terlibat aktif atau sebagai penggerak International Lawyer for West Papua (ILWP) yang pada 2 Agustus lalu menyelenggarakan konferensi propaganda kemerdekaan Papua, bertempat di East School of the Examination Schools, 75-81 High Street, Oxford dengan mengusung tema tentang kemerdekaan Papua : “West Papua ? The Road to Freedom”.

Semua itu menunjukkan bahwa di dalam masalah Papua itu juga dimasuki oleh pertarungan internasional. Apapun perubaha besar yang terjadi di Papua, pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari pertarungan internasional itu. Dalam hal ini tentu AS tidak akan mau kehilangan segala keuntungan yang telah didapatkannya selama ini. Disisi lain Inggris dan Australia terus berusaha untuk bisa turut menanamkan pengaruh di sana dan menikmati keuntungan termasuk kekayaan alam bumi Papua yang melimpah.

 

Akar Masalah Papua dan Penyelesaiannya Secara Total

Dari paparan di atas terlihat bahwa konflik di Papua terjadi karena kebijakan ala ideologi kapitalisme yang menyerahkan kekayaan alam kepada swasta asing yang dalam hal ini Freeport. Begitu Freeport ada di bumi Papua, maka sejak saat itu pula terjadi konflik yang terus menerus.

Sebab lain yang juga berperan besar memunculkan tuntutan rakyat Papua atas menentukan nasib mereka sendiri adalah terjadinya kezaliman dan ketidakadilan terhadap mereka. Begitu pula tidak adanya pendistribusian kekayaan alam yang ada di wilayah mereka untuk membangun dan memajukan Papua dan meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua. Asumsinya adalah bahwa semua itu terjadi karena yang memerintah dan mengelola semua itu bukan orang asli Papua. Jika Papua diperintah dan kekayaannya diatur oleh orang Papua sendiri, atau jika mereka bisa menentukan kebijakan pengelolaan wilayah mereka sendiri, maka dianggap semua itu akan berubah total, kemajuan akan bisa diujudkan di Papua dan taraf hidup masyarakatnya pasti meningkat.

Masalah pengelolaan kekayaan alam dan pendistribusian kekayaan yang tidak merata dan tidak memberikan kesejahteraan bagi rakyat di wilayah tempat kekayaan alam itu berada sebenarnya bukan khas masalah Papua. Masalah itu juga dialami oleh semua wilayah negeri ini, bahkan yang di pulau Jawa sekalipun. Daerah Cepu, Cikotok, Indramayu dan lainnya yang disitu minyaknya disedot dan atau emasnya dikeruk, masyarakatnya juga tidak bisa menikmati hasil dari kekayaan alam di wilayah mereka itu. Banyak masyarakat di daerah itu yang masih didera kemiskinan dan keterbelakangan. Sebabnya tidak lain karena kebijakan pengelolaan perekonomian ala kapitalis yang menyerahkan kekayaan alam itu kepada swasta dan terutama asing. Sehingga pihak swasta asing itulah yang paling menikmati hasil dari kekayaan yang merupakan milik rakyat negeri ini secara keseluruhan itu.

Maka selama pengelolaan kekayaan alam masih menggunakan model ekonomi kapitalisme maka keadaan ketidakadilan ekonomi semacam itu akan terus terjadi. Kekayaan negeri tatap tidak akan terdistribusi secara merata. Kesenjangan akan tetap menganga. Karena itu kemerdekaan bukanlah solusi untuk menghilangkan ketidakadilan ekonomi itu. Malah kemerdekaan bisa menjadi pintu yang lebih lebar bagi penetrasi lebih dalam bagi pengelolaan ekonomi menurut model kapitalisme. Apalagi jika kemerdekaan itu atas belas kasihan (bantuan) asing, dalam hal ini misalnya Inggris atau eropa pada umumnya dan Australia. Dengan mereka keberadaan AS dengan perusahaan multinasionalnya tidak serta merta bisa diakhiri, sebaliknya dengan merdeka justru membuka ruang bagi masuknya kepentingan Inggris (Eropa) dan Australia. Itu artinya dengan merdeka, justru Papua justru makin menjadi jarahan pihak asing. Dan hampir dapat dipastikan bahwa model pengelolaan ekonominya juga akan tetap model kapitalisme dan karenanya penjarahan kekayaan bumi Papua nantinya justru akan makin merajalela.

Begitu pula berbagai kekerasan atau kejahatan lingkungan, tidak akan serta merta bisa dihilangkan dengan memerdekakan diri. Sebab semua itu terjadi seiring dengan keberadaan PTFI. Padahal dengan merdeka keberadaan Freeport tidak dengan sendirinya hilang. Justru dengan merdeka akan terbuka peluang bagi Freeport untuk memperpanjang eksistensinya di bumi Papua dengan jalan melakukan negosiasi dengan pemerintah baru dan memberikan keuntungan yang diminta terutama kepada pribadi-pribadi pejabatnya. Bahkan dengan memsiahkan diri justru terbuka peluang bagi masuknya pihak asing seperti Freeport lebih banyak lagi.

 

Islam Solusi Masalah Papua

Masalah Papua seperti halnya masalah daerah-daerah lainnya bahkan masalah seluruh negeri kaum muslim, tidak pernah bisa dituntaskan dibawah sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini. Masalah itu hanya akan bisa dituntaskan dengan penerapan syariah Islam secara total.

Dalam hal pengelolaan ekonomi dan kekayaan, Islam menetapkan bahwa kekayaan alam yang berlimpah depositnya seperti tambang tembaga dan emas di Papua yang saat ini dikuasai Freeport, ditetapkan sebagai hak milik umum seluruh rakyat tanpa kecuali. Kekayaan itu tidak boleh dikuasakan atau diberikan kepada swasta apalagi swasta asing. Kekayaan itu harus dikelola oleh negara mewakili rakyat dan hasilnya keseluruhannya dikembalikan kepada rakyat, diantaranya dalam bentuk berbagai pelayanan kepada rakyat. Maka dalam pandangan sistem Islam ketika diterapkan, kekayaam alam seperti yang dikelola oleh Freeport dan lainnya itu akan dikembalikan menjadi kekayaan hak milik umum. Negara haus mengelolanya dengan pengelolaan demi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat bukan para pejabat dan kroninya, pengelolaan yang berkelanjutan tanpa menimbulkan kerusakan dalam berbagai bentuknya.

Kemudian hasil dari pengelolaan berbagai kekayaan alam itu ditambah dair sumber-sumber pemasukan lainnya akan dihimpun di kas negara dan didistribusikan untuk membiayai kepentingan pembangunan dan pelayanan kepada rakyat. Dalam hal pendistribusian itu, yang dijadikan patokan adalah bahwa setiap daerah akan diberi dana sesuai kebutuhannya tanpa memandang berapa besar pemasukan yang berasal dari daerah itu. Dalam hal menetapkan besaran kebutuhan itu, maka yang menjadi patokan adalah kebutuhan riil mulai dari yang pokok lalu ke yang pelengkap dan seterusnya. Dalam hal itu juga akan diperhatikan masalah pemerataan dan kemajuan semua daerah. Sebab Islam mewajibkan negara untuk menjaga keseimbangan perekonomian agar kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang kaya atau di kalangan tertentu atau di daerah tertentu saja.

Dalam hal perlakuan kepada rakyat, maka Islam mewajibkan berlaku adil kepada seluruh rakyat bahkan kepada semua manusia. Dalam Sistem Islam tidak boleh ada deskriminasi atas dasar suku, etnis, bangsa, ras, warna kulit, agama, kelompok dan sebagainya dalam hal pemberian pelayanan dan apa yang menjadi hak-hak rakyat. Islam pun mengharamkan cara pandang, tolok ukur dan kriteria atas dasar suku bangsa, etnis, ras, warna kulit dan cara pandang serta tolok ukur sektarian lainnya. Islam menilai semua itu sebagai keharaman dan hal yang menjijikkan. Bahkan dalam Islam, siapa saja yang menyeru, membela atau berperang dan mati demi ashabiyah (sektarianisme) maka dia tidak termasuk umat Muhammad dan neraka menjadi tempat yang lebih layak untuknya. Hal ini menjadi salah satu faktor yang mengikis deskriminasi di masyarakat dan mewujudkan keharmonisan di tengah masyarakat.

Sementara itu dalam hal kerusakan lainnya, Islam menetapkan bahwa penguasa adalah ra’in (pemelihara) urusan rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat atas sejauh mana terpeliharanya urusan-urusan dan kepentingan-kepentingan rakyat. Maka konsekuensinya adalah segala hal apalagi kebijakan yang berpotensi merugikan kepentingan rakyat maka harus di selesaikan dan dihilangkan. Itu artinya segala kebijakan dan praktek yang berpotensi menimbulkan kerusakan baik lingkungan, sosial, kesehatan, dan sebagainya harus dihentikan dan dihilangkan. Apalagi Islam dengan tegas mengharamkan segala bentuk kerusakan dan pembuat kerusakan di muka bumi atau mufsidun diancam dengan siksa neraka.

Untuk menjamin agar sistem Islam itu berjalan secara konsekuen dan konsisten maka Islam membuka ruang selebar-lebarnya bagi masyarakat secara individual ataupun kelompok untuk mengoreksi dan menyampaikan kritik kepada penguasa. Bahkan Islam menetapkan koreksi dan kritik kepada penguasa itu sebagai kewajiban. Kemudian jika penguasa dan aparat negara melakukan kezaliman atas rakyat baik individu maupun kelompok apalagi komunitas, maka rakyat secara individual ataupun kelompok diberi ruang yang luas untuk mengadukan dan memperkarakan kezaliman itu kepada Mahkamah Mazhalim agar kezaliman itu segera dihilangkan. Bandingkan dengan sistem kapitalisme demokrasi bahkan yang dipraktekkan di negara kampiun demokrasi sekalipun, adalah langka rakyat apalagi secara individual bisa memperkarakan dan menuntut penguasa apalagi kepala negara ke muka pengadilan. Apalagi di dalam sistem kapitalisme demokrasi yang dipraktekkan di seluruh dunia saat ini, rasanya tidak ada badan semacam Mahkamah Mazhalim seperti yang ada di dalam Sistem Islam yang terus ada untuk menghilangkan segala bentuk kezaliman negara dan penguasa atas rakyat. Yang ada di dalam sistem kapitalisme demokrasi adalah para pejabat dan penguasa menjadi kelas yang nyaris tak bisa disentuh oleh hukum.

Jadi menyelesaikan masalah Papua dan daerah-daerah lain, adalah dengan menghilangkan kezaliman dan ketidakadilan yang terjadi; mengelola kekayaan negeri demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat; mendistribusikan kekayaan itu secara merata dan berkeadilan; memberikan keadilan kepada semua tanpa deskriminasi atas dasar suku, etnis, warna kulit, ras, agama, kelompok dan cara pandang dan kriteria sektarian lainnya. Juga dengan mewujudkan pemerintah yang bisa menjalankan semua itu, pemerintah yang betul-betul berperan sebagai ra’in pengatur dan pemelihara segala urusan dan kemaslahatan rakyat. Dan tunuk itu masyarakat harus memiliki peluang dan diberi ruang untuk mengoreksi penguasa jika terjadi kebengkokan sehngga bisa dijamin pelaksanaannya secara konsekuen dan konsisten. Semua itu hanya bisa diwujudkan melalui penerapan Sistem Islam secara total dalam bingkai institusi kekuasaan yang islami yaitu al-Khilafah Rasyidah.

Dengan melihat pola pendekatan yang dilakukan pemerintah, dan kurang sensitifnya elit partai di pusat, tampaknya akan terjadi pengulangan kesalahan terhadap penanganan Papua. Dan itu berarti, mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan untuk masyarakat Papua dari para penguasa RI menjadi semakin jauh. Karena pemimpin negeri ini bukan sedang memimpin rakyat, melainkan membangun citra pribadi dan kepentingan kelompok atau partai. Wallahu a’lam (the.ciia2020@gmail.com)

 

foto ilustrasi: suaramuslimpapua

Posted via email from Papua Merdeka Podcast

Pepera Sudah Final

Pepera Sudah Final

Proses pelaksanaan Pepera sendiri mulai dilaksanakan tanggal 24 Juli sampai dengan Agustus 1969. Petugas PBB yang mewakili Sekjen PBB adalah Dubes Bolivia, Fernando Ortiz Sanz bersama-sama 16 orang pengawas PBB lainnya. Mulanya PBB mengutus 50 orang staf ke Papua tapi jumlah ini kemudian dikurangi 25 orang, akhirnya hanya 16 orang anggota PBB yang ditugaskan, dan ini termasuk staf administrasi. PBB menyetujui untuk membatasi jumlah pejabatnya sehingga yang mengawasi Pepera memang dalam jumlah kecil. Jadi sangat tidak berdasar adanya anggapan bahwa PBB sebagai organisasi dunia mendapat tekanan dari Indonesia sehingga pengawas Pepera yang ditugaskan hanya 16 orang.

 Tugas pengawasan dimulai pada tanggal 23 Agustus 1968, Ortiz Sanz tiba di Papua dan memulai perjalanannya 10 hari 3000 mil ke daerah melalui pesawat. Yang menemani dia seluruh tim 8 Pejabat resmi Indonesia yang dipimpin oleh Sudjarwo Tjondronegoro, perwakilan Jakarta untuk Papua. Setelah kembalinya, Ortiz Sanz menulis dalam suatu laporan untuk Sekjen PBB, U,Thant dan dia memuji pekerjaan Indonesia:“Pemerintah harus diberikan kredit atas kemajuan dalam pendidikan dasar, proses pembauran melalui pemakaian bahasa umum (Indonesia), pembangunan sekolah dan menunjukkan usaha-usaha pergaulan yang bersahabat” Dia juga menambahkan: “Kita mengetahui bahwa prinsip “satu orang satu suara” tidak dapat dilaksanakan di semua daerah Papua, karena kurangnya pengalaman luar dari penduduk. … Kita juga mengakui bahwa pemerintah Indonesia dimana memperlihatkan ketidakpastian tentang hasil-hasil musyawarah, akan mencoba, dengan semua maksud-maksud pembagian itu, mengurangi jumlah orang, perwakilan-perwakilan, dan lembaga-lembaga musyawarah.”

 Dilaksanakan di 8 Kabupaten, yaitu Merauke, Jayawijaya, Paniai, Fakfak, Sorong, Manokwari, Biak dan Jayapura oleh 1026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) mewakili jumlah penduduk Papua yang berjumlah 809.327 jiwa. DMP tersebut terdiri atas 400 orang mewakili unsur tradisional (Kepala Suku/Adat), 360 orang mewakili unsur daerah dan 266 orang mewakili unsur organisasi politik/organisasi kemasyarakatan. Hasil dari Pepera yang digelar di 8 Kabupaten Irian Barat (Papua), semuanya memilih dan menetapkan dengan suara bulat bahwa Papua merupakan bagian mutlak dari Republik Indonesia. Hasil tersebut disepakati dan disetujui dengan membubuhkan tanda tangan semua yang hadir dalam rapat Pepera tersebut. Ini menandai bahwa secara de facto masyarakat Papua memilih untuk berintegrasi dengan NKRI. Dengan dikeluarkannya Resolusi PBB nomor 2504 pada Sidang Umum PBB 19 November 1969, dengan 82 negara yang setuju, 30 negara abstain dan tidak ada yang tidak setuju, menunjukkan bahwa dunia Internasional sudah mengakui keabsahan Pepera 1969.

Pada saat memutuskan untuk menggelar Pepera tentunya PBB sudah memperhitungkan bahwa konsekuensi dalam dinamika berdemokrasi akan muncul pro dan kontra antara pihak yang menerima atau menolak hasil dari Pepera. Gugatan terhadap keabsahan Pepera 1969 yang selalu didengungkan oleh OPM hanyalah usaha mencari kambing hitam dengan berupaya menemukan celah sejarah yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingannya. Pepera 1969 sudah dilaksanakan sesuai kondisi medan/wilayah dan perkembangan masyarakat yang tidak memungkinkan untuk dilaksanakan secara “one man, one vote”. Jika hal ini dipandang sebagai suatu kecacatan, tapi pada kenyataannya PBB melalui Resolusi No. 2504 telah menerima keabsahannya. Dunia Internasional pun secara mutlak menerima Pepera ditandai dengan tidak ada satupun negara yang menolak. Dalam konteks tersebut di atas resolusi yang dikeluarkan oleh PBB untuk mengakui hasil Pepera harus dianggap sebagai dokumen yang menentukan bahwa Pepera telah dilakukan (walaupun dengan sistem perwakilan) dan hasil Pepera diterima dengan baik sebagai suatu hal yang final.

Seperti di Timor-Timur dalam jajak pendapatnya menunjukan bahwa walaupun terjadi keberatan tentang penyelenggaraan jajak pendapat, ternyata PBB tetap pada pendiriannya bahwa rakyat Timor-Timur telah memilih untuk berpisah dengan Indonesia. Lebih lanjut pilihan ini diakui oleh masyarakat Internasional walaupun ada keberatan-keberatan yang dilakukan oleh berbagai pihak. Resolusi PBB No 2504 merupakan penegasan pengakuan PBB atas kedaulatan NKRI terhadap Papua, dan karena itu setiap upaya untuk memisahkan daerah tersebut dari NKRI merupakan penentangan terhadap hukum internasional yang berlaku, termasuk piagam PBB itu sendiri.

Posted via email from Papua Pos' posterous

Friday 4 November 2011

Sejarah masuknya Irian Barat (Papua) ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah benar

Jumat, 21 Agustus 2009 | 06:20 WIB

JAYAPURA, KOMPAS.com--Sejarah masuknya Irian Barat (Papua) ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah benar sehingga tidak perlu dipertanyakan dan diutak-atik lagi.

Hal tersebut diungkapkan Tokoh Pejuang Papua, Ramses Ohee di Jayapura, Kamis menanggapi sejumlah kalangan yang masih mempersoalkan sejarah masuknya Papua ke dalam wilayah Indonesia yang telah ditetapkan melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 silam.

Ramses menegaskan, ada pihak-pihak yang sengaja membelokkan sejarah Papua untuk memelihara konflik di Tanah Papua.

"Sejarah masuknya Papua ke dalam NKRI sudah benar, hanya saja dibelokkan sejumlah warga tertentu yang kebanyakan generasi muda," ujarnya.

Lebih lanjut dijelaskannya, fakta sejarah menunjukkan keinginan rakyat Papua bergabung dengan Indonesia sudah muncul sejak pelaksanaan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.

"Sayangnya, masih ada yang beranggapan bahwa Sumpah Pemuda tidak dihadiri pemuda Papua. Ini keliru, karena justru sebaliknya, para pemuda Papua hadir dan berikrar bersama pemuda dari daerah lainnya. Ayah saya, Poreu Ohee adalah salah satu pemuda Papua yang hadir pada saat itu," ujar Ramses.

Adapun mengenai pihak-pihak yang memutarbalikkan sejarah dan masih menyangkal kenyataan integrasi Papua ke dalam NKRI, Ramses tidak menyalahkan mereka karena minimnya pemahaman atas hal tersebut.

Menurutnya, hal yang perlu disadari adalah bahwa keberadaan negara merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga seharusnya disyukuri dengan memberikan kontribusi positif bagi pembangunan di Papua.

Berdasarkan catatan sejarah, pada 1 Oktober 1962 pemerintah Belanda di Irian Barat menyerahkan wilayah ini kepada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) hingga 1 Mei 1963. Setelah tanggal tersebut, bendera Belanda diturunkan dan diganti bendera Merah Putih dan bendera PBB.

Selanjutnya, PBB merancang suatu kesepakatan yang dikenal dengan "New York Agreement" untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat Irian Barat melakukan jajak pendapat melalui Pepera pada 1969 yang diwakili 175 orang sebagai utusan dari delapan kabupaten pada masa itu.

Hasil Pepera menunjukkan rakyat Irian Barat setuju untuk bersatu dengan pemerintah Indonesia.

Posted via email from Papua Posts

My Headlines

Papua - Indonesia Headline Animator

 
free counters

Blog Papua - Indonesia Headline Animator

About Me

My photo
Jayapura, Papua, Indonesia
Papua, West Papua, Free West Papua

Followers