rss

Powered By Blogger

Search This Blog

Thursday 25 November 2010

SECRET FILE SHOW KOPASSUS (SPECIAL FORCES COMMAND)


Breaking News: Secret Files Show Kopassus, Indonesia's Special Forces, Targets Papuan Churches, Civilians. Documents Leak from Notorious US-Backed Unit as Obama Lands in Indonesia.

By Allan Nairn


Secret documents have leaked from inside Kopassus, Indonesia's red berets, which say that Indonesia's US-backed security forces engage in "murder [and] abduction" and show that Kopassus targets churches in West Papua and defines civilian dissidents as the "enemy."

The documents include a Kopassus enemies list headed by Papua's top Baptist minister and describe a covert network of surveillance, infiltration and disruption of Papuan institutions

The disclosure comes as US President Barack Obama is touching down in Indonesia. His administration recently announced the restoration of US aid to Kopassus.

Kopassus is the most notorious unit of Indonesia's armed forces, TNI, which along with POLRI, the national police, have killed civilians by the hundreds of thousands.

The leaked cache of secret Kopassus documents includes operational, intelligence and field reports as well as personnel records which list the names and details of Kopassus "agents."

The documents are classified "SECRET" ("RAHASIA") and include extensive background reports on Kopassus civilian targets -- reports that are apparently of uneven accuracy.

The authenticity of the documents has been verified by Kopassus personnel who have seen them and by external evidence regarding the authors and the internal characteristics of the documents.

Some of the Kopassus documents will be released in the days to come, in part via this website.

Those being released with this article are about West Papua, where tens of thousands of civilians have been murdered and where Kopassus is most active. Jakarta has attempted to largely seal off Papua to visits by non-approved outsiders.

Those being released with this article are about West Papua, where tens of thousands of civilians have been murdered and where Kopassus is most active. Jakarta has attempted to largely seal off Papua to visits by non-approved outsiders.

A detailed 25-page secret report by a Kopassus task force in Kotaraja, Papua defines Kopassus' number-one "enemy" as unarmed civilians. It calls them the "separatist political movement" "GSP/P, " lists what they say are the top 15 leaders and discusses the "enemy order of battle."

All of those listed are civilians, starting with the head of the Baptist Synod of Papua. The others include evangelical ministers, activists, traditional leaders, legislators, students and intellectuals as well as local establishment figures and the head of the Papua Muslim Youth organization.

The secret Kopassus study says that in their 400,000 - person area of operations the civilians they target as being political are "much more dangerous than" any armed opposition since the armed groups "hardly do anything" but the civilians -- with popular support -- have "reached the outside world" with their "obsession" with "merdeka" (independence/ freedom) and persist in "propagating the issue of severe human rights violations in Papua," ie. "murders and abductions that are done by the security forces."


(See SATGAS BAN - 5 KOPASSUS, LAPORAN TRIWULAN I POS KOTARAJA, DANPOS NUR WAHYUDI, LETTU INF, AGUSTUS 2007, p. 8, 12, 9, 6, 5, )

The Kopassus document cited above is embedded below, followed by supplementary field reports.

http://www.allannairn.com/2010/11/breaking-news-secret-files-show.html

Diposkan oleh Yalimeck di 11.15

Posted via email from Papua Posts

Rahabilitasi, Stigma Separatis Bagi Mahasiswa Papua

Komisi E DPRP ketika menyampaikan keterangan kepada wartawan di Multi Grosir Tanah Hitam, Distrik Abepura, Jayapura, Sabtu (30/10). JAYAPURA—Adanya insiden penggeledaan Asrama Mahasiswa Kamasan VII milik Pemprov Papua di Kabupaten Tondano, Sulawesi Utara beberapa waktu lalu oleh Satpol PP dan Polisi setempat, mendepat reaksi dari kalangan DPRP. Intinya mereka mendesak Gubernur provinsi Papua untuk segera mengklarifikasi stigama separatis yang dialamatkan kepada mahasiswa Papua.

Untuk diketahui, penggeledaan ini dilakukan dengan dalil menggelar sweeping Kartu Tanda Penduduk (KTP). Pasalnya, Satpol PP Kabupaten Tondano dan Polisi setempat tanpa prosedur masuk ke dalam asrama Kamasan VII di Tondano dan mengacak ngajak asrama mahasiswa Papua tersebut.

Alasannya, Satpol PP Kabupaten Tondano dan Polisi ingin melakukan razia KTP. Namun demikian, mahasiswa mahasiswa tersebut bukan hanya dirazia KPT tapi juga mengutak atik dan mengambil pisau dapur, laptop, perlengakapan tempat tidur dan lain lain. Mereka juga mencap mahasiswa mahasiswi tersebut sebagai separatis.

“Mahasiswa mahasiswa Papua di Tondano diperlakukan secara tak wajar. Mereka kini dalam keadaan trauma. Mereka mau jalan keluar kemana mana sedikit sulit karena sudah dicap sebagai separatis dan mau pergi kuliah saja masih ketakutan. Semua punya keinginan untuk pulang ke Papua karena diperlakukan seperti itu,” tukas anggota Komisi E DPRP masing masing Ananias Pigai SSos, Kenius Kogoya SP, H Maddu Mallu SE serta Kamasan Jack Komboy ketika menjelaskan kepada wartawan di Multi Grosir Tanah Hitam, Distrik Abepura, Jayapura, Sabtu (30/10).

Insiden ini terungkap setelah Tim I Komisi E DPRP terdiri dari Ananias Pigai SSos, Kenius Kogoya SP dan Kamasan Jack Komboy ketika melakukan kunjungan kerja ke Asrama mahasiswa Kamasan VII di Tondano.

Menurut Ananias, pihaknya menghimbau agar Pemprov Papua dalam hal ini gubernur bersama sama Pemprov Sulut merehabilitasi nama baik mahasaiswa Papua yang terlanjur dicap separatis. “Kami minta gubernur segera mengklarifikasi dan meluruskan persoalan ini karena ini sangat mengganggu kenyamanan dan aktivitas perkuliahan mahasiswa.

Kenius Kogoya SP mengatakan, pihaknya mengharapkan Pemprov Papua dalam hal ini gubernur dan SKPD- SKPD terkait dapat meninjau langsung situasi mahasiswa di sana dengan asramanya yang diutak atik Pol PP bersama polisi yang ada disana itu segera mereka harus mengklarifikasi. Pasalnya, mahasiswa mahsiswa Papua diperlakukan tak sewenang wenang oleh Pemda setempat.

Pasalnya, ungkapnya, mahasiswa Papua khususnya di Tondano dicap sebagai separatis dan masuk kedalam Asrama itu dan mengutak atik barang barang penghuninya. Padahal tak ada dasar untuk mengatakan bahwa mahasiswa mahasiswa Papua adalah separatis.

“Adik adik semua sudah tak tenang lagi untuk melakukan kegiatan perkuliahan.Adik adik disebut sebagai separatis itu dasarnya apa. Kita ini sama anak bangsa. Masa mahasiswa Papua yang kuliah di Manado dianggap separatis. Kami sangat tak setuju dengan stigma yang diberikan kepada anak anak Papua yang kuliah disana.

Masih kata Kenius, terkait dengan KTP. Alasan Satpol PP dan Polisi setempat bahwa mereka memeriksa KTP mahasiswa yang kuliah di Tondano. Para mahasiswa itu selam 2 tiga tahun kuliah bahkan ada yang 4 tahun tapi KPT yang mereka urus tak pernah diurus dan dikasih oleh pemerintah daerah. Bahkan KTP ini dijadikan alasan untuk menginterogasi mahasiswa.
“Kami minta supaya pemprov Sulut juga secara bijaksana untuk menerima mahasiswa Papua disana juga sebagai bagian warga negara. Jangan menganggap orang Papua itu bukan warga dari republik ini. Kenapa mereka bisa menjadikan KTP sebagai suatu alasana untuk pergi menginterogasi adik adik mahasiswa disana dengan mengecap sebagai separatis dan lai lain.
“Kami harapkan secepatnya karena adik adik mahasiswa ini sudah sangat trauma. Ada momen dimana pemerintah Sulut dan juga Papua untuk duduk sama sama untuk membicarakan, mengklarifikasi dan luruskan semua persoalan adik adik mahasiswa yang ada disana,” ungkapnya.

Ananias Pigai, berkaitan dengan hal tereebut pihaknya telah mengunjungi ke Surabaya dan Yogyakarta dan waktu kami wawancarai para mahasiswa saling telpon dan saling menjaga jangan sampai masalah ini tersebar. Hal ini lebih baik dari awal secepatnya ditangani masalah oleh Pemprov Papua dan Pemprov Sulut dan mesti ada kerjasama antara Pangdam dan Kapolda supaya masalah ini segera diselesaikan dan tak tersebar di Asrama mahasiswa di kota studi yang lain seperti Makassar, Bandung dan lain lain.

Kamasan Jack Komboy, pihaknya hanya mengetahui keberadaan mahasiswa mahasiswa di Tondano hanya untuk melakukan studi tak untuk kegiatan lain. Mereka mengaku jalan kemana saja orang sudah melihat mereka sebagai separatis bukan lagi sebagai mahasiswa. “Setelah kami pulang ke Jayapura mahasiswa Papua di Tondano menelpon lagi bapak Pol PP datang lagi masuk ke asrama kami ada mengambil lap top,” katanya. (mdc)

Posted via email from West Papua Merdeka Posterous

Thursday 30 September 2010

[Papua - Indonesia] SBY Utus 3 Menko Evaluasi Pelaksanaan Otonomi Khusus Papu...

Rabu, 29/09/2010 17:16 WIB

Luhur Hertanto - detikNews
Jakarta - Tiga orang menteri koordinator saat ini sedang berada di Papua dan Papua Barat. Ketiganya ditugaskan Presiden SBY melakukan evaluasi pelaksaan otnomi khusus dan efektivitas pemerintahan daerah setempat.

"Kita akan lihat mana yang belum baik berjalan, apa penyebabnya dan siapa yang bisa kita minta tanggung jawab secara jelas," kata Presiden SBY di Kantor Presiden, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta, Rabu (29/9/2010).

Patokan evaluasi adalah amanah dari Inpres 5/2007 tentang Percepatan Peningkatan Kesejahteraan Rakyat di Papua dan Papua Barat. Meski lebih banyak terkait pelaksaan program kerja pemerintah daerah, menurut Presiden SBY, tetap perlu adanya bantuan dorongan dari pemerintah pusat bila memang kondisi lapangan memerlukannya.

"Ini agar otonomi khusus benar-benar menghadirkan kesejahteraan bagi warga di Papua dan Papua Barat," jelas SBY.

Presiden menegaskan, peningkatan kesejahteraan rakyat jadi prioritas dan memerlukan pembangunan ekonomi. Ekonomi bisa dibangun bila pemerintahan berjalan efektif, keamanan terjaga, hukum ditegakkan dan NKRI terpelihara keutuhannya.

"Saya akan menerima laporan dan rekomendasi dari 3 menko, agar nanti pemerintahan Papua dan Papua Barat bisa lebih efektif lagi," sambung
SBY.

Lebih lanjut dikatakannya, evaluasi serupa juga akan dilakukan di NAD. Fokus utama adalah hasil dari proses reintegrasi, trust building antar pihak yang pernah berlawanan dan hasil dari capaian pembangunan pasca MoU Helsinski pada 2005.

"Sehingga rakyat Aceh benar-benar bisa membedakan pembangunan sebelum
dan sesudah terciptanya perdamaian," imbuh SBY.

(lh/mad)

Posted via email from SPMNews' Posterous

Sunday 26 September 2010

[Papua Merdeka Blogspot] [Papua Merdeka Blogspot] Kolonialisme dan Cahaya Dek...


RESENSI BUKU

Normal 0 false false false MicrosoftInternetExplorer4

Oleh : A Ibrahim Peyon

Penerbit : Nintiens Focus

Tebal : 257 halaman

Cetakan pertama : September 2010

Ide penulis untuk menulis buku ini muncul ketika terlibat sebagai anggota peneliti selama 7 (tujuh) tahun di negerinya Papua barat. Penulis sendiri sebagai kebanyakan orang Papua dan adalah asli Pegunungan tengah Papua barat yang adalah korban kebiadaban aparat Militer Indonesia, setiap tempat yang dia kunjungi selama penelitian, ia melihat orang papua berada pada suatu kondisi yang diciptakan pihak lain dalam satu garis panjang yang ia sebutnya proyek Dehumanisasi. Ada banyak hal yang ditemukan, namun data – data tersebut tidak mungkin ditulis semuanya dalam buku ini karena berbagai daya dan upaya yang terbatas. Dengan demikian berbagai informasi itu tersimpan sebagai memoria passionis (Penderitaan kolektif) dalam garis penderitaan itu.

Tetapi dalam buku ini penulis berusaha dengan baik untuk menyajikan beberapa hal yang dilakukan penjajah dalam upayanya jangka panjangnya untuk menenggelamkan eksistensi manusia Papua – ras melanesia dari negeri leluhur mereka. Buku yang ditulis salah satu anak pegunungan tengah Papua barat ini terdiri atas IX BAB.

Pada bagian pertama dalam buku ini, penulis mengemukakan wacana umum dari buku ini. Kemudian pada bagian kedua, penulis mengulas tentang Trik atau SIASAT PEMBENARAN POLITIK INTEGRASI. Disini ia menggambarkan dengan baik pengkaburan eksistensi orang melanesia dari perspektif orang luar Papua dengan kepentingan penjajahan, imperialisme, dan kapitalisme. Orang luar mengatakan manusia dan pulau Papua mereka yang menemukan dan pandangan bahwa orang Papua sudah berada dibawah kekuasaan kerajaan kuno Indonesia yaitu Sriwijaya dan Majapahit sebelum bangsa indonesia merdeka 17 Agustus 1945 mereka sudah berkuasa atas pulau itu, tetapi menurut penulis pandangan itu sangat keliru. Dua pandangan keliru mereka mengenai kekuasaan Sriwijaya dan Majapahit atas pulau Papua ini dipatahkan dengan Argumentasi yang disampaikan penulis dalam buku ini.

Pada bagian ketiga mengenai ANEKSASI PAPUA BARAT, Penulis menyatakan/ menegaskan bahwa orang dan pulau Papua tidak ditemukan oleh siapapun. Tetapi leluhur dan nenek moyang orang melanesia sudah ditempatkan oleh Allahh dalam sejarah kerajaan dan kedaulatan Allah.Istilah yang benar ialah orang – orang luar datang dengan tujuan mencari rempah – rempah dan kekayaan alam diatas tanahnya orang asli Papua, orang melanesia ini. Atau lebih tepatnya orang – orang luar datang bertemu dengan orang Melanesia diatas tanah dan negeri leluhur mereka dengan tujuan menduduki tanah dan menjajah orang asli Papua.

Pada bagian ke Empat, APLIKASI GENOCIDA. Penulis mengulas mengenai elemen – elemen yang bermain dalam proses ini dan metode yang digunakan dalam proses pemusnahan etnis Melanesia.

Pada bagian ke Lima, DEPOPULASI PENDUDUK DAN ANCAMAN KEMATIAN BANGSA. Disini penulis dengan jeli mengulas berbagai kebijakan Pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat Papua. Dalam hal ini, penulis mengulas tentang kebijakan Pemerintah dalam program transmigrasi, Migrasi sponta, Asimilasi dan kawin campur, penyebaran penyakit melalui izin operasional tempat – tempat prostitusi, perdagangan miras, dan politik memiskinkan dan memperbudak kualitas hidup yang mengancam eksistensi manusia Papua sebagai pemilik mutlak atas Tanah Papua.

Bagian Penulis menguraikan mengenai KEBANGKITAN NASINALISME DAN PERJUANGAN RAKYAT PAPUA.

====== Bersambung =====


Posted via email from West Papua Merdeka Posterous

Posted via email from SPMNews' Posterous

Posted via email from SPMNews' Posterous

[Papua Merdeka Blogspot] Kolonialisme dan Cahaya Dekolonisasi di Papua Barat:...


RESENSI BUKU

Normal 0 false false false MicrosoftInternetExplorer4

Oleh : A Ibrahim Peyon

Penerbit : Nintiens Focus

Tebal : 257 halaman

Cetakan pertama : September 2010

Ide penulis untuk menulis buku ini muncul ketika terlibat sebagai anggota peneliti selama 7 (tujuh) tahun di negerinya Papua barat. Penulis sendiri sebagai kebanyakan orang Papua dan adalah asli Pegunungan tengah Papua barat yang adalah korban kebiadaban aparat Militer Indonesia, setiap tempat yang dia kunjungi selama penelitian, ia melihat orang papua berada pada suatu kondisi yang diciptakan pihak lain dalam satu garis panjang yang ia sebutnya proyek Dehumanisasi. Ada banyak hal yang ditemukan, namun data – data tersebut tidak mungkin ditulis semuanya dalam buku ini karena berbagai daya dan upaya yang terbatas. Dengan demikian berbagai informasi itu tersimpan sebagai memoria passionis (Penderitaan kolektif) dalam garis penderitaan itu.

Tetapi dalam buku ini penulis berusaha dengan baik untuk menyajikan beberapa hal yang dilakukan penjajah dalam upayanya jangka panjangnya untuk menenggelamkan eksistensi manusia Papua – ras melanesia dari negeri leluhur mereka. Buku yang ditulis salah satu anak pegunungan tengah Papua barat ini terdiri atas IX BAB.

Pada bagian pertama dalam buku ini, penulis mengemukakan wacana umum dari buku ini. Kemudian pada bagian kedua, penulis mengulas tentang Trik atau SIASAT PEMBENARAN POLITIK INTEGRASI. Disini ia menggambarkan dengan baik pengkaburan eksistensi orang melanesia dari perspektif orang luar Papua dengan kepentingan penjajahan, imperialisme, dan kapitalisme. Orang luar mengatakan manusia dan pulau Papua mereka yang menemukan dan pandangan bahwa orang Papua sudah berada dibawah kekuasaan kerajaan kuno Indonesia yaitu Sriwijaya dan Majapahit sebelum bangsa indonesia merdeka 17 Agustus 1945 mereka sudah berkuasa atas pulau itu, tetapi menurut penulis pandangan itu sangat keliru. Dua pandangan keliru mereka mengenai kekuasaan Sriwijaya dan Majapahit atas pulau Papua ini dipatahkan dengan Argumentasi yang disampaikan penulis dalam buku ini.

Pada bagian ketiga mengenai ANEKSASI PAPUA BARAT, Penulis menyatakan/ menegaskan bahwa orang dan pulau Papua tidak ditemukan oleh siapapun. Tetapi leluhur dan nenek moyang orang melanesia sudah ditempatkan oleh Allahh dalam sejarah kerajaan dan kedaulatan Allah.Istilah yang benar ialah orang – orang luar datang dengan tujuan mencari rempah – rempah dan kekayaan alam diatas tanahnya orang asli Papua, orang melanesia ini. Atau lebih tepatnya orang – orang luar datang bertemu dengan orang Melanesia diatas tanah dan negeri leluhur mereka dengan tujuan menduduki tanah dan menjajah orang asli Papua.

Pada bagian ke Empat, APLIKASI GENOCIDA. Penulis mengulas mengenai elemen – elemen yang bermain dalam proses ini dan metode yang digunakan dalam proses pemusnahan etnis Melanesia.

Pada bagian ke Lima, DEPOPULASI PENDUDUK DAN ANCAMAN KEMATIAN BANGSA. Disini penulis dengan jeli mengulas berbagai kebijakan Pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat Papua. Dalam hal ini, penulis mengulas tentang kebijakan Pemerintah dalam program transmigrasi, Migrasi sponta, Asimilasi dan kawin campur, penyebaran penyakit melalui izin operasional tempat – tempat prostitusi, perdagangan miras, dan politik memiskinkan dan memperbudak kualitas hidup yang mengancam eksistensi manusia Papua sebagai pemilik mutlak atas Tanah Papua.

Bagian Penulis menguraikan mengenai KEBANGKITAN NASINALISME DAN PERJUANGAN RAKYAT PAPUA.

====== Bersambung =====


Posted via email from West Papua Merdeka Posterous

Posted via email from SPMNews' Posterous

Kolonialisme dan Cahaya Dekolonisasi di Papua Barat: Resensi Buku oleh Ibrahim Peyon


RESENSI BUKU

Normal 0 false false false MicrosoftInternetExplorer4

Oleh : A Ibrahim Peyon

Penerbit : Nintiens Focus

Tebal : 257 halaman

Cetakan pertama : September 2010

Ide penulis untuk menulis buku ini muncul ketika terlibat sebagai anggota peneliti selama 7 (tujuh) tahun di negerinya Papua barat. Penulis sendiri sebagai kebanyakan orang Papua dan adalah asli Pegunungan tengah Papua barat yang adalah korban kebiadaban aparat Militer Indonesia, setiap tempat yang dia kunjungi selama penelitian, ia melihat orang papua berada pada suatu kondisi yang diciptakan pihak lain dalam satu garis panjang yang ia sebutnya proyek Dehumanisasi. Ada banyak hal yang ditemukan, namun data – data tersebut tidak mungkin ditulis semuanya dalam buku ini karena berbagai daya dan upaya yang terbatas. Dengan demikian berbagai informasi itu tersimpan sebagai memoria passionis (Penderitaan kolektif) dalam garis penderitaan itu.

Tetapi dalam buku ini penulis berusaha dengan baik untuk menyajikan beberapa hal yang dilakukan penjajah dalam upayanya jangka panjangnya untuk menenggelamkan eksistensi manusia Papua – ras melanesia dari negeri leluhur mereka. Buku yang ditulis salah satu anak pegunungan tengah Papua barat ini terdiri atas IX BAB.

Pada bagian pertama dalam buku ini, penulis mengemukakan wacana umum dari buku ini. Kemudian pada bagian kedua, penulis mengulas tentang Trik atau SIASAT PEMBENARAN POLITIK INTEGRASI. Disini ia menggambarkan dengan baik pengkaburan eksistensi orang melanesia dari perspektif orang luar Papua dengan kepentingan penjajahan, imperialisme, dan kapitalisme. Orang luar mengatakan manusia dan pulau Papua mereka yang menemukan dan pandangan bahwa orang Papua sudah berada dibawah kekuasaan kerajaan kuno Indonesia yaitu Sriwijaya dan Majapahit sebelum bangsa indonesia merdeka 17 Agustus 1945 mereka sudah berkuasa atas pulau itu, tetapi menurut penulis pandangan itu sangat keliru. Dua pandangan keliru mereka mengenai kekuasaan Sriwijaya dan Majapahit atas pulau Papua ini dipatahkan dengan Argumentasi yang disampaikan penulis dalam buku ini.

Pada bagian ketiga mengenai ANEKSASI PAPUA BARAT, Penulis menyatakan/ menegaskan bahwa orang dan pulau Papua tidak ditemukan oleh siapapun. Tetapi leluhur dan nenek moyang orang melanesia sudah ditempatkan oleh Allahh dalam sejarah kerajaan dan kedaulatan Allah.Istilah yang benar ialah orang – orang luar datang dengan tujuan mencari rempah – rempah dan kekayaan alam diatas tanahnya orang asli Papua, orang melanesia ini. Atau lebih tepatnya orang – orang luar datang bertemu dengan orang Melanesia diatas tanah dan negeri leluhur mereka dengan tujuan menduduki tanah dan menjajah orang asli Papua.

Pada bagian ke Empat, APLIKASI GENOCIDA. Penulis mengulas mengenai elemen – elemen yang bermain dalam proses ini dan metode yang digunakan dalam proses pemusnahan etnis Melanesia.

Pada bagian ke Lima, DEPOPULASI PENDUDUK DAN ANCAMAN KEMATIAN BANGSA. Disini penulis dengan jeli mengulas berbagai kebijakan Pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat Papua. Dalam hal ini, penulis mengulas tentang kebijakan Pemerintah dalam program transmigrasi, Migrasi sponta, Asimilasi dan kawin campur, penyebaran penyakit melalui izin operasional tempat – tempat prostitusi, perdagangan miras, dan politik memiskinkan dan memperbudak kualitas hidup yang mengancam eksistensi manusia Papua sebagai pemilik mutlak atas Tanah Papua.

Bagian Penulis menguraikan mengenai KEBANGKITAN NASINALISME DAN PERJUANGAN RAKYAT PAPUA.

====== Bersambung =====


Posted via email from West Papua Merdeka Posterous

Monday 6 September 2010

[Papua Merdeka Blogspot] [Papua - Indonesia] Dubes Singapura Tanyakan Pelaksa...

WAMENA-Untuk memperkuat hubungan bilateral antara dua Negara yaitu Indonesia dan Singapura, Duta Besar (Dubes) Singapura Ashok Kumar Mirpuri bersama rombongan tiba di Bandar Udara (Bandara) Wamena, Kamis (2/9).

Dubes Singapura Ashok Kumar Mirpuri bersama Army Attache Col David Chua dan Ambassador First Secretary Jonathan Han ini disambut oleh Bupati Jayawijaya Wempi Wetipo S.Sos,M.Par bersama unsur Muspida dan beberapa pimpinan SKPD di lingkungan Pemkab Jayawijaya.
Seusai istirahat sejenak di VIP Room Bandara Wamena, Dubes beserta rombongan langsung menuju kantor Bupati Jayawijaya dan melakukan pertemuan tertutup dengan Bupati Jayawijaya Wempi Wetipo bersama unsur Muspida.

Sesuai pertemuan kurang lebih 1 jam, Dubes dan rombongan langsung menuju ke Kurulu guna menyaksikan tempat wisata Mumi dan tempat wisata lainnya.

Bupati Jayawijaya Wempi Wetipo S.Sos,M.Par saat ditanya wartawan mengenai kedatangan Dubes Singapura mengatakan, kedatangan Dubes Singapura merupakan kunjungan resmi yang dilakukannya untuk melihat kondisi di Papua.

“Saat pertemuan tadi, Dubes menanyakan seperti apa pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) di Papua terlebih lagi di Wamena. Saya bilang kalau belum ada perhatian yang serius, dimana sampai saat ini pembangunan di wilayah Pegunungan Tengah Papua ini masih sangat terbelakang, karena untuk menjangkau suatu daerah masih mengandalkan transportasi udara, tidak seperti di daerah Jawa dan Sulawesi, dimana antara Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara bisa dilalui melalui jalan darat, sedangkan di Papua antara daerah masih menggunakan pesawat,”jelas Bupati.

Soal investasi, Bupati Wempi mengungkapkan, jika Dubes Singapura menanyakan potensi yang ada di Wamena. “Saya bilang kalau wilayah Pegunungan memiliki potensi salah satunya yaitu kopi dan pariwisata, karena itu Dubes Singapura mengundang Jayawijaya untuk menghadiri dan sebagai peserta pada investasi tourisem yang akan digelar di Singapura dalam waktu dekat,”jelasnya. (lmn)

Posted via email from SPMNews' Posterous

Posted via email from SPMNews' Posterous

[Papua Merdeka Blogspot] [Papua - Indonesia] Revisi UU Otsus Sepihak, Dapat C...

Ir. Weynand Watory & Ruben Magai SIPJAYAPURA—Revisi UU No 21 Tahun 2001 atau  UU Otsus terutama Pasal 7 huruf a yang  menyatakan Gubernur Papua dipilih oleh  DPRP, ternyata pasal tersebut telah dihilangkan melalui perubahan UU No 35  tahun 2008. Padahal dalam UU tersebut hanya menyatakan Provinsi Irian Jaya  Barat masuk bagian dalam UU Otsus.

“Apabila ada pihak yang melakukan revisi, maka sa­ngat berbahaya serta  menciptakan  sebuah persoalan besar di  tanah ini,” tukas Ketua Komisi A DPRP  Ruben Magai SIP ketika dikonfirmasi Bintang Papua diruang kerjanya, Selasa  (31/8) kemarin.      

Dia mengatakan, pihaknya mempertanyakan dasar apa dilakukan revisi UU Otsus.  Atas dasar usul siapa dan berdasarkan rekomendasi apa. Apabila hendak revisi  UU Otsus melibatkan tokoh tokoh Papua yang waktu lalu minta merdeka supaya  pikiran- pikiran mere­ka juga diakomodir dalam sebuah konstitusi sehingga  dikemudian hari tak menuntut merdeka.

“ Tapi kalau  itu tak diakomodir ini berarti bahaya. Bahaya dalam arti bahwa  kepentingan sekelompok  itu diakomodir dan rakyat selalu termarginalkan. Tak  terakomodir masuk di dalam sebuah sistim yang benar untuk mendorong dan  memajukan rakyat Papua,” tukasnya.  

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi A DPRP Ir Weynand Watory menegaskan ada  mekanisme untuk  pengajuan judicial review (uji material) terhadap  UU No 21  tahun 2001 atau UU Otsus khususnya pasal 7 huruf a bahwa Gubernur Provinsi  Papua dipilih oleh DPRP.  Tapi perubahan melalui  Perpu No 1 Tahun 2008  menjadi UU No 35 Tahun 2008 dimana konsiderannya adalah memberikan payung  hukum kepada Provinsi Papua Barat bukan mengubah pasal 7 huruf a UU Otsus.

“Pasalnya, hal  ini berkonsekuensi kepada pendanaan, tapi juga harus menjadi  keputusan politik dari lembaga maka tentu ada proses proses untuk   memutuskannya. Dan dari proses proses  memutuskannya  itu kan dari Komisi  mengajukan hal itu kepada pimpinan kemudian  dibawah ke rapat Badan Musyawarah  (Banmus) DPRP,” ujar  Watory  ketika dihubungi  Bintang Papua di ruang  kerjanya, Senin (30/8) kemarin terkait rencana DPRP ajukan judicial review  terhadap  UU No 21 Tahun 2001 atau UU Otsus.

Menurut dia, selanjutnya  pihaknya  akan mendengar  keputusan politik dari  setiap  Fraksi di DPRP. Dan  kare­na itu harus  ke paripurna DPRP untuk  mendapatkan  pengesahan serta  mendengar pandangan pandangan setiap Fraksi  DPRP  terkait  rencana  judicial review terhadap UU Otsus tersebut “Kami sudah melakukan itu cukup jauh dan setelah itu kami  wajib melaporkannya   kepada pimpinan DPRP untuk kemudian  dibuat menjadi  suatu keputusan lembaga  bukan keputusan Komisi.  Tapi apabila tiba pada keputusan harus dikembalikan  lagi kepada mekanisme di DPRP,” tukasnya.

“Karena itu kami tekah melaporkan kepada pimpinan DPRP dan ternyata sudah  disetujui maka kami harus  kembalikan ke proses atau mekanisme di DPRP untuk  diputuskan.”

Politisi senior Partai Kedaulatan ini menambahkan, pihaknya mengharapkan  agar  semua pihak berjalan diatas aturan dan tak perlu melakukan perubahan perubahan  tanpa mengacu kepada perintah UU. Pasalnya,  perintah UU sangat  jelas bahwa  UU Otsus yang berlaku khusus ini bisa dilakukan perubahan sesuai  mekanismenya  harus lewat keputusan rakyat.

“Kita bikin pertemuan rakyat Papua ka atau kita bikin semacam Musyawarah Besar  ka yang difasilitasi DPRP dan MRP kemudian sekarang harus dengan Papua Barat  karena sekarang Otsus itu sudah berlaku juga di Papua Barat. Dan masyarakat di  kedua Provinsi ini harus berkumpul dan mereka menyatakan bahwa   menurut kami  perlu ada perubahan perubahan,” katanya.

Menurunya, ironisnya  rakyat yang memiliki mandat  dan kedaulatan untuk  melakukan perubahan ini tak pernah berbicara  sekalipun  tiba tiba perubahan  itu dilakukan dan anehnya  lagi bahwa dilakukan perubahan itu pada Perpu No 1  Tahun 2008 dimana konsideran itu hanya memberikan payung hukum kepada Provinsi  Pa­pua Barat yang secara de fakto sudah ada.

Menurut dia, kalaupun misalnya mau ditambahkan maka itu hanya ditambahkan  bahwa perubahan Perpu itu memberikan payung  hukum sebagai dasar untuk  kemudian diterbitkan UU No 35 tahun 2008 itu hanya menambahkan penjelasan atau  pasal yang menyatakan bahwa Provinsi Papua Barat  itu adalah dari pembelakuan  Otsus di Tanah Papua.

“Koq tak ada hubungan sama sekali dengan penghila­ngan pasal 7 huruf a UU  Otsus tak ada konsideran yang mempertimbangkan bahwa pelaksanaan Pemilu yang  dilakukan DPRP itu setelah evaluasi  tak  benar makanya dikembalikan kepada  rakyat sesuai dengan semangat reformasi. Jadi  sama sekali tak ada satu huruf  atau satu katapun yang menjelaskannya.  Saya menganggap ini perubahan ini  sangat amburadul dan inkonsitusional atau tak sesuai dengan UU,” urainya.

Kerana itu, tambahnya, pihak pihak  yang melakukan perubahan terhadap UU No 21  Tahun 2001 khusus pasal 7 huruf a  ini  tanpa mengikuti konstitusi   perlu  diproses hukum.”Nanti akan kita lihat kalau memang itu kesalahan ya negara ini  adalah negara hukum wajib. Kalaupun keputusan mereka harus dikenakan sanksi ya  kenakan sanksi tak ada seorang pun yang kebal hukum di negara ini,” tukasnya.

“Tapi itu kan proses masih jauh kita lihat dulu proses ini kita jalankan dulu.  Mudah mudahan itu berlanjut sampai kepada posisi dimana

Posted via email from SPMNews' Posterous

Posted via email from SPMNews' Posterous

[Papua - Indonesia] Soal Tambahan 11 Kursi DPRP - John Ibo: Pusat Paksa Papua

JAYAPURA – Meski putusan MK tentang tambahan 11 kursi di DPRP telah lama keluar, namun komentar pedas terkait hasil putusan itu baru saat ini dikeluarkan oleh Ketua DPRP Drs. John Ibo, MM.

Pihaknya menegaskan bahwa 11 kursi tambahan DPRP hasil dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu itu sangat di luar dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

"Sebelas kursi tambahan ini, menurut DPRP sangat diluar dari perundang-perundangan yang berlaku. MK, kami tidak mau menggunakan kuasa untuk menekan kebenaran," tandas John Ibo, Rabu (1/9) kemarin.

Dikatakan, MK telah menginstruksikan Papua untuk menjalankan pengangkatan 11 anggota DPRP tersebut, namun tidak ada dasar Undang-Undang-nya, karena dalam UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus tidak ada, begitu juga UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah juga tidak ada, dan PP No 16 juga tidak ada.

‘Meski tidak ada dasar, namun Papua dipaksa untuk melakukan pengangkatan 11 kursi DPRP itu. Jika MK berani, MK harus memerintahkan pemerintah untuk menurunkan kepada kami satu peraturan pemerintah saja. Kami tidak berani buat karena cantolan-cantolan hukumnya tidak ada," jelasnya.

Soal tuduhan bahwa 11 kursi tambahan DPRP ini, karena bertolak bahwa DPRP ini dianggap separatis, John Ibo menegaskan bahwa stigmatisasi tentang separatis dan OPM, agar jangan lagi dipakai di Papua, karena itu cerita hari kemarin yang tidak ada artinya lagi dan hal itu memundurkan pembangunan dengan stigmatisasi seperti itu. Pembangunan tidak berjalan dan orang tidak bisa bergerak bebas dalam suatu negara.

"Masak pakai terus stigmatisasi di Papua untuk menekan pejabatnya, sehingga tidak bebas bekerja," jelasnya.

Soal Raperdasus pengangkatan 11 kursi yang telah sampai di DPRP, John Ibo mengatakan Raperdasus tersebut sudah dapat dibahas dan DPRP sudah mengambil langkah, bahkan Komisi A DPRP akan berangkat ke Jakarta dengan satu tim untuk menanyakan kepada pemerintah pusat dan meminta petunjuk dasar hukumnya untuk melaksanakan putusan MK tersebut.

"Jika DPRP menyusun satu aturan untuk pelaksanaan pengangkatan 11 kursi versi MK maka cantolan hukumnya yang mana? UU Otsus tidak ada, UU 32 tidak ada juga, PP No 16 tidak ada semua, kita mau pakai UU apa? Itu yang akan kami tanyakan kepada pemerintah pusat," tandasnya.

Soal 11 kursi tambahan tersebut, John Ibo justru mempertanyakan, apakah karena kecurigaan dimana DPRP saat ini dianggap separatis dan 11 kursi tambahan DPRP tersebut untuk memberikan perimbangan.

"Yang ada 56, kalau terjadi pengambilan keputusan itu, yang 11 kursi itu mau apa. 11 kursi itu tidak akan menang. Bahwa mereka merah putih, bukan itu. Di DPRP itu semua merah putih. Jadi, ini akan mengalami kendala ke depan," tandasnya.(bat/fud)

Posted via email from SPMNews' Posterous

[Papua - Indonesia] Presiden Evaluasi Otsus Papua Pasca Ramadhan

Potret Kemiskinan di Papua. Meski Otsus Papua sudah 9 tahun, namun jumlah rakyat miskin di Papua dan Papua Barat masih menduduki urutan tertinggi di negeri ini. Ada apa?JAYAPURA—Mencermati dinamika politik di Papua akhir-akhir ini yang banyak menyoroti keberadaan UU 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua, lantaran dinilai gagal membawa perubahan dan peningkatkan kese­jahteraan bagi masyakat Papua, secara diam-diam mulai terekam oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Terkait dengan itu Presiden akan melakukan langkah-langkah penanganan masalah Papua secara komprehensif dengan melakukan eveluasi Otsus Papua maupun Papua Barat, dengan demikian Otsus yang sudah berjalan hampir 9 tahun ini, bisa benar-benar dirasakan masyarakat sesuai tujuan diberlakukannya Otsus tersebut.

Rencana evaluasi Otsus secara menyeluruh atas hal subtansial  di Papua oleh Presiden  RI Susilo Presiden RI, Susilo Bambang YudhoyonoBambang Yudhoyono ini, disampaikan langsung oleh tiga Staf Khusus Presiden SBY yang membidangi Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, masing masing Thanan Aria Dewangga, Velix Vernando Wanggai dan Moksen Sirfepa saat bertandang ke Kantor Redaksi Bintang Papua, Selasa (31/8), kemarin. Dalam kunjungan tim staf khsusus Presiden diterima oleh Wa­kil Piminan redaksi Daud Sonny.

Dalam pertemuan satu jam lebih itu, secara khusus terungkap keprihatinan Presiden SBY tentang  penggunaan anggaran yang cukup besar setiap tahunnya digelontorkan ke Papua, namun belum membawa suatu perubahan  peningkatan kualitas hidup yang membawa  rakyat Papua asli menuju kesejahteraan.

Masalah substansial tadi telah membawa rakyat asli Papua pada masalah kemiskinan, sehingga presiden SBY yang diwakili ataf khususnya menilai adanya simpul simpul yang macet dalam pelaksanaan otsus, sehingga diperlukan pena­nganan khusus  atau  Grand Design untuk mengatasi masalah  Otsus Papua secara komprehensif.” Perlu ada beberapa usulan yang bersifat solutif yang menarik untuk penataan Otsus, tidak hanya di tataran implementasi, tetapi juga di tararan formulasi kebijakan (policy formulation) yang bersifa konseptual,”katanya.

Dikatakan,Fokus Presiden SBY dalam memecahkan kemelut Otsus dengan memberikan perhatian pada peningkatan pangan, pengentasan kemiskinan, pendidikan dan kesehatan, infrastruktur wilayah dan penanganan affirmative Policy bagi pengembangan SDM Papua,  dalam kerangka Otsus Papua.

Hal itu juga telah ditegaskan Presiden dalam pidato kenegaraannya pada HUT 17-an, bahwa menyelesaikan masalah substansial Papua yang pertama akan dilakukan  dengan menjalin komunikasi yang konstrutif pasca Ramadhan nanti antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, DPRP dan MRP.

Ada empat kerangka  yang menimbulkan masalah besar di Papua,  sehingga Otsus dinilai gagal oleh kalangan tertentu, sehingga Presiden merasa perlu   menata kembali  kerangka anggaran Otsus Papua penataan dimulai dengan kembali   menata strategi Pembangunan Daerah, menata strategi kelembagaan Pemerintahan Daerah dan menata  kerangka Politik  dan HAM terkait pasal- pasal yang mengatur  keberadaan KOMNAS HAM, Pengadilan Adhoc Papua, Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi, Partai Politik dan lambang lambang daerah yang jadi isu hangat  dari waktu ke waktu.

Penataan keempat kerangka Otsus tadi sejak Pemberlakuan Otsus pada mulanya kurang memperhatikan Grand Designnya. Padahal Grand design ini memuat staregi-stretegi umum untuk rencana yang lebih konkret dan fokus untuk melaksanakan pasal dari Otsus Papua, termasuk jangka waktu, intitusi penang­gungjawab dan indikator pencapaiannya (performance indicator). Contohnya  lima tahun pertama  dan kedua  capaian bidang Pendidikan ,kesehatan, ekonomi dan infrastruktur sudah sampai dimana capaiannya

Kemudian di dalam Grans design tersebut perlu ditekan­kan perlunya grand strategy pembanguan sektor-sektor utama, seperti pendidikan, kesehatan,ekonomi rakyat, dan infrastruktur wilayah dengan masa waktu 20 tahu ke depan.

Dikatakan, Grand Strate­gy ini multlak dimiliki oleh Pemprob maupun Pemprov Papa Barat sebagai acuan bagi semua pemangku kepentingan untuk memangun tanah Papua. Ini juga dilengkapi dengan aksi Action plan yang jelas dan terukur.

Target seperti lima tahun pertama sudah berapa banyak orang Papua asli yang menge­nyam pendidikan setingkat  S1,S2, dan S3 sudah berapa banyak rumah sakit dibangun  gunakan dana Otsus  serta dokter yang  ditempatkan di Rumah sakit rumah sakit yang pakai dana otsus
Dalam  bidang Pendidikan, kesehatan, ekonomi  dan infrastruktur yang tidak dievaluasi, setiap tahun dan jadi masalah hingga ketika gubernur ditanya rakyat, buktinya tidak dapat ditunjukkan. Oleh sebab itu grand Design sangat diperlukan agar indicator capaiannya dapat dilihat,  yang sekarang, justru Otsus Papua yang berjalan  sekarang  adalah manual, mana kekhususannya, tidak ada terang staf ahli khusus Presiden.

Diterangkan Otsus yang diberlakukan di Papua tidak hanya dilihat dari dana saja, melainkan ada aspek aspek lainnya yang harus diperhatikan sekedar dana Otsus, contoh konkrit rasio untuk pendidikan ada 30 persen, sedangkan kesehatan 2 per­sen,  sebenarnya hasil yang mau dicapai sudah berlipat, namun mengapa belum tercapai? Akan lebih spesifik lagi bila startegi pembangunan dan anggaran dilihat kembali pada aspek perencanaannya sehingga pelaksanaan Otsus Papua kedepannya bisa tertata baik.

Kemudian yang berikutnya tentang kewenangan pendanaan yang relatif besar, artinya kalau kita melihat Papua memiliki istilahnya ada dana perimbangan dae­rah, ada dana otonomi khusus itu selama 20 tahun. Pemerintah Provinsi Papua mendapat dana 2% dari Dana Alokasi Umum Nasional, itu cukup besar. Kemudian ada juga dana untuk pembangunan infrastructur, itu dana Otsus pembangunan infrastructur. Dimana tercatat sampai tahun 2008 saja misalnya, Provinsi Papua mendapat alokasi dana sekitar Rp 28 trilyun. Itu dana yang cukup besar dibandingkan dengan Propinsi-Propinsi lain, memang itu berbagai sumber dana.

Dana Otsus meningkat terus dari tahun 2002 pertama sekitar 1, 9 trilyun, kemudian tahun 2008 naik tercapai sampai 3,5 trilyun. Kemudian tahun 2009 ini 4,1 trilyun, tahun 2010 lebih besar lagi. Itu menunjukkan kenaikan sangat besar. Jadi mengalami proses kenaikan dana Otonomi Khusus setiap tahun. Pertama dari 1,9 trilyun sampai sekarang 4,2 trilyun dan ditambah sumber-sumber dana lain total sampai 2008, termasuk dana Otsus, sekitar 28 trilyun. Itukan polocy yang sudah berjalan. Tetapi persoalannya seberapa besar efektifnya Otsus ditingkat implementasi, itu yang jadi persoalan, seberapa efektif, bukan seberapa berhasil tapi seberapa efektif UU Otsus ini sudah dijalankan atau sudah seberapa besar korelasi terhadap kesejahteraan masyarakat Papua, ini yang mejadi pertanyaan.

Jadi ini bisa menimbulkan kekecewaan, kalau kita milihat akhirnya ba­nyak dikalangan masyarakat Papua, misalnya sejak tahun 2005, sebagian kelompok masyarakat menginginkan Otsus ingin dikembalikan ke Pusat. Kemudian 2008 juga ada demonstrasi Otsus mau dikembalikan ke Pusat dan terakhir menuntut refe­redum. Karena memang banyak persoalan-persoalan yang tidak dibenahi selama Otsus itu.

Untuk itu dengan ada­nya perhatian SBY dengan melakukan eveluasi Otsus masalah ini bisa teratasi, Semoga. (ven/don)

Posted via email from SPMNews' Posterous

[Papua - Indonesia] Revisi UU Otsus Sepihak, Dapat Ciptakan Persoalan Besar B...

Ir. Weynand Watory & Ruben Magai SIPJAYAPURA—Revisi UU No 21 Tahun 2001 atau  UU Otsus terutama Pasal 7 huruf a yang  menyatakan Gubernur Papua dipilih oleh  DPRP, ternyata pasal tersebut telah dihilangkan melalui perubahan UU No 35  tahun 2008. Padahal dalam UU tersebut hanya menyatakan Provinsi Irian Jaya  Barat masuk bagian dalam UU Otsus.

“Apabila ada pihak yang melakukan revisi, maka sa­ngat berbahaya serta  menciptakan  sebuah persoalan besar di  tanah ini,” tukas Ketua Komisi A DPRP  Ruben Magai SIP ketika dikonfirmasi Bintang Papua diruang kerjanya, Selasa  (31/8) kemarin.      

Dia mengatakan, pihaknya mempertanyakan dasar apa dilakukan revisi UU Otsus.  Atas dasar usul siapa dan berdasarkan rekomendasi apa. Apabila hendak revisi  UU Otsus melibatkan tokoh tokoh Papua yang waktu lalu minta merdeka supaya  pikiran- pikiran mere­ka juga diakomodir dalam sebuah konstitusi sehingga  dikemudian hari tak menuntut merdeka.

“ Tapi kalau  itu tak diakomodir ini berarti bahaya. Bahaya dalam arti bahwa  kepentingan sekelompok  itu diakomodir dan rakyat selalu termarginalkan. Tak  terakomodir masuk di dalam sebuah sistim yang benar untuk mendorong dan  memajukan rakyat Papua,” tukasnya.  

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi A DPRP Ir Weynand Watory menegaskan ada  mekanisme untuk  pengajuan judicial review (uji material) terhadap  UU No 21  tahun 2001 atau UU Otsus khususnya pasal 7 huruf a bahwa Gubernur Provinsi  Papua dipilih oleh DPRP.  Tapi perubahan melalui  Perpu No 1 Tahun 2008  menjadi UU No 35 Tahun 2008 dimana konsiderannya adalah memberikan payung  hukum kepada Provinsi Papua Barat bukan mengubah pasal 7 huruf a UU Otsus.

“Pasalnya, hal  ini berkonsekuensi kepada pendanaan, tapi juga harus menjadi  keputusan politik dari lembaga maka tentu ada proses proses untuk   memutuskannya. Dan dari proses proses  memutuskannya  itu kan dari Komisi  mengajukan hal itu kepada pimpinan kemudian  dibawah ke rapat Badan Musyawarah  (Banmus) DPRP,” ujar  Watory  ketika dihubungi  Bintang Papua di ruang  kerjanya, Senin (30/8) kemarin terkait rencana DPRP ajukan judicial review  terhadap  UU No 21 Tahun 2001 atau UU Otsus.

Menurut dia, selanjutnya  pihaknya  akan mendengar  keputusan politik dari  setiap  Fraksi di DPRP. Dan  kare­na itu harus  ke paripurna DPRP untuk  mendapatkan  pengesahan serta  mendengar pandangan pandangan setiap Fraksi  DPRP  terkait  rencana  judicial review terhadap UU Otsus tersebut “Kami sudah melakukan itu cukup jauh dan setelah itu kami  wajib melaporkannya   kepada pimpinan DPRP untuk kemudian  dibuat menjadi  suatu keputusan lembaga  bukan keputusan Komisi.  Tapi apabila tiba pada keputusan harus dikembalikan  lagi kepada mekanisme di DPRP,” tukasnya.

“Karena itu kami tekah melaporkan kepada pimpinan DPRP dan ternyata sudah  disetujui maka kami harus  kembalikan ke proses atau mekanisme di DPRP untuk  diputuskan.”

Politisi senior Partai Kedaulatan ini menambahkan, pihaknya mengharapkan  agar  semua pihak berjalan diatas aturan dan tak perlu melakukan perubahan perubahan  tanpa mengacu kepada perintah UU. Pasalnya,  perintah UU sangat  jelas bahwa  UU Otsus yang berlaku khusus ini bisa dilakukan perubahan sesuai  mekanismenya  harus lewat keputusan rakyat.

“Kita bikin pertemuan rakyat Papua ka atau kita bikin semacam Musyawarah Besar  ka yang difasilitasi DPRP dan MRP kemudian sekarang harus dengan Papua Barat  karena sekarang Otsus itu sudah berlaku juga di Papua Barat. Dan masyarakat di  kedua Provinsi ini harus berkumpul dan mereka menyatakan bahwa   menurut kami  perlu ada perubahan perubahan,” katanya.

Menurunya, ironisnya  rakyat yang memiliki mandat  dan kedaulatan untuk  melakukan perubahan ini tak pernah berbicara  sekalipun  tiba tiba perubahan  itu dilakukan dan anehnya  lagi bahwa dilakukan perubahan itu pada Perpu No 1  Tahun 2008 dimana konsideran itu hanya memberikan payung hukum kepada Provinsi  Pa­pua Barat yang secara de fakto sudah ada.

Menurut dia, kalaupun misalnya mau ditambahkan maka itu hanya ditambahkan  bahwa perubahan Perpu itu memberikan payung  hukum sebagai dasar untuk  kemudian diterbitkan UU No 35 tahun 2008 itu hanya menambahkan penjelasan atau  pasal yang menyatakan bahwa Provinsi Papua Barat  itu adalah dari pembelakuan  Otsus di Tanah Papua.

“Koq tak ada hubungan sama sekali dengan penghila­ngan pasal 7 huruf a UU  Otsus tak ada konsideran yang mempertimbangkan bahwa pelaksanaan Pemilu yang  dilakukan DPRP itu setelah evaluasi  tak  benar makanya dikembalikan kepada  rakyat sesuai dengan semangat reformasi. Jadi  sama sekali tak ada satu huruf  atau satu katapun yang menjelaskannya.  Saya menganggap ini perubahan ini  sangat amburadul dan inkonsitusional atau tak sesuai dengan UU,” urainya.

Kerana itu, tambahnya, pihak pihak  yang melakukan perubahan terhadap UU No 21  Tahun 2001 khusus pasal 7 huruf a  ini  tanpa mengikuti konstitusi   perlu  diproses hukum.”Nanti akan kita lihat kalau memang itu kesalahan ya negara ini  adalah negara hukum wajib. Kalaupun keputusan mereka harus dikenakan sanksi ya  kenakan sanksi tak ada seorang pun yang kebal hukum di negara ini,” tukasnya.

“Tapi itu kan proses masih jauh kita lihat dulu proses ini kita jalankan dulu.  Mudah mudahan itu berlanjut sampai kepada posisi dimana

Posted via email from SPMNews' Posterous

[Papua - Indonesia] Dubes Singapura Tanyakan Pelaksanaan Otsus di Papua

WAMENA-Untuk memperkuat hubungan bilateral antara dua Negara yaitu Indonesia dan Singapura, Duta Besar (Dubes) Singapura Ashok Kumar Mirpuri bersama rombongan tiba di Bandar Udara (Bandara) Wamena, Kamis (2/9).

Dubes Singapura Ashok Kumar Mirpuri bersama Army Attache Col David Chua dan Ambassador First Secretary Jonathan Han ini disambut oleh Bupati Jayawijaya Wempi Wetipo S.Sos,M.Par bersama unsur Muspida dan beberapa pimpinan SKPD di lingkungan Pemkab Jayawijaya.
Seusai istirahat sejenak di VIP Room Bandara Wamena, Dubes beserta rombongan langsung menuju kantor Bupati Jayawijaya dan melakukan pertemuan tertutup dengan Bupati Jayawijaya Wempi Wetipo bersama unsur Muspida.

Sesuai pertemuan kurang lebih 1 jam, Dubes dan rombongan langsung menuju ke Kurulu guna menyaksikan tempat wisata Mumi dan tempat wisata lainnya.

Bupati Jayawijaya Wempi Wetipo S.Sos,M.Par saat ditanya wartawan mengenai kedatangan Dubes Singapura mengatakan, kedatangan Dubes Singapura merupakan kunjungan resmi yang dilakukannya untuk melihat kondisi di Papua.

“Saat pertemuan tadi, Dubes menanyakan seperti apa pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) di Papua terlebih lagi di Wamena. Saya bilang kalau belum ada perhatian yang serius, dimana sampai saat ini pembangunan di wilayah Pegunungan Tengah Papua ini masih sangat terbelakang, karena untuk menjangkau suatu daerah masih mengandalkan transportasi udara, tidak seperti di daerah Jawa dan Sulawesi, dimana antara Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara bisa dilalui melalui jalan darat, sedangkan di Papua antara daerah masih menggunakan pesawat,”jelas Bupati.

Soal investasi, Bupati Wempi mengungkapkan, jika Dubes Singapura menanyakan potensi yang ada di Wamena. “Saya bilang kalau wilayah Pegunungan memiliki potensi salah satunya yaitu kopi dan pariwisata, karena itu Dubes Singapura mengundang Jayawijaya untuk menghadiri dan sebagai peserta pada investasi tourisem yang akan digelar di Singapura dalam waktu dekat,”jelasnya. (lmn)

Posted via email from SPMNews' Posterous

Sunday 8 August 2010

DPRP Minta Dana Otsus Dikelola Tersendiri

JAYAPURA [PAPOS]- Dewan Perwakilan Rakyat Papua [DPRP] menilai, dengan besarnya dana Otonomi Khusus yang dikucurkan bagi Provinsi Papua yang setara dengan 2 persen dari Dana Alokasi Umum [DAU] setiap tahunnya, maka pengelolaannya diharapkan tersendiri.

Ketua Komisi C DPR Papua, Carolus Bolly mengatakan, pengelolaan dana Otsus digabungkan dengan APBD membuat dana Otonomi Khusus menjadi kabur penggunaannya. Dimana, sesuai dengan UU No 21 tahun 2001, dana Otsus digunakan untuk membiayai empat bidang yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan dan infrastruktur.

“Dengan digabungnya antara dana Otsus dan APBD, mengakibatkan penggunaan dana Otsus menjadi kabur, karena semuanya dimasukkan ke APBD dan menjadi sumber pendapatan lain,” ujarnya kepada wartawan di ruang kerjanya belum lama ini.

Selain itu Carolus menilai, dengan penggabungan tersebut menyebabkan pembagiannya menjadi tidak jelas, karena empat bidang prioritas yang diamanatkan dalam UU Otonomi Khusus yang dibiayai dana Otsus, semuanya digabungkan ke dalam APBD.

“Kita tidak tahu dari jumlah dana Otsus yang diterima, berapa persen yang dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan dan infrastruktur,” tegasnya.

Disisi lain, tidak transparannya penggunaan dana Otsus menjadi salah satu penyebab kekecewaan rakyat Papua terhadap pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua, yang diwujudkan dalam aksi demo mengembalikan Otsus ke Jakarta karena dinilai gagal meningkatkan kesejahteraan hidup Orang asli Papua.

Untuk itu, DPRP mengusulkan agar pemerintah Provinsi Papua segera membentuk lembaga tersendiri untuk mengelola dana Otsus Papua ditunjang dengan fungsi pemerintah sebagai fasilitator yang melakukan pengawasan, evaluasi dan pemeriksaan. Sementara untuk perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan anggaran dilakukan oleh lembaga independen yang dibentuk.

“Untuk mengelola dana Otsus secara tersendiri, memang dibutuhkan Undang-Undang tersendiri,” katanya.

Untuk itu, pemerintah Provinsi Papua melalui Kepala Badan Keuangan dan Pengelolaan Asset Daerah Provinsi Papua, DR. Achmad Hatari, SE, M.Si juga harus mendukung pengelolaan dana Otsus secara tersendiri.

“Sembilan tahun Otsus di Papua namun pengelolaan dananya tidak transparan dan tidak teraplikasi secara baik kepada rakyat Papua, dengan dasar itu maka diperlukan penataan yang baik melalui Undang-Undang,” ungkapnya.

Sementara itu Ketua Komisi A DPR Papua, Ruben Magai menegaskan, dua kali aksi demonstrasi ke DPRP beberapa waktu lalu yang menuntut agar Otsus Papua dikembalikan karena dinilai gagal, merupakan dampak dari tidak terkelolanya dana tersebut secara baik.

“Seharusnya dana tersebut dikelola tersendiri agar rakyat dapat mengetahui, dana itu digunakan untuk membiayai apa, agar penggunaannya dapat dikontrol,” kata Ruben Magai.

Dari catatan Papua Pos, dana Otsus yang diterima Provinsi Papua sejak tahun 2002 hingga 2009 ini mencapai sekitar Rp. 18,7 Triliun dengan rincian tahun 2002 sebesar Rp.1.382.300.000.000 tahun 2003 Rp.1.539.560.000.000, tahun 2004 Rp.1.642.617.943.000, tahun 2005 Rp.1.775.312.000.000, tahun 2006 Rp.2.913.284.000.000, tahun 2007 Rp.3.295.748.000.000, tahun 2008 Rp.3.590.100.000.000, tahun 2009 Rp.2.609.796.098.000, jumlah keseluruhan Rp.18.748.718.041.000.

Dan ditahun 2010 ini, rencana pendapatan Dana Otsus berkisar Rp.2,6 Triliun.[anyong]

Ditulis oleh Anyong/Papos
Sabtu, 07 Agustus 2010 00:00

Posted via email from SPMNews' Posterous

Sunday 27 June 2010

Amazon Gifts - Papua Indonesia

  1. The Papuan Languages of New Guinea 
  2. RINGER T-SHIRT WOMAN WHITE " I CAN BE YOU PAPUAN LANGUAGES TEACHER " Large 
  3.  











  1.  

Saturday 26 June 2010

Christian Human-Rights Group Calls for ‘Dialogue’ on ‘Papua Question‘ in Indonesia

Christian Human-Rights Group Calls for ‘Dialogue’ on ‘Papua Question‘ in Indonesia

Posted on 25. Jun, 2010 by Dan Wooding in Christian news

 

CSW logo

UK-based Christian Solidarity Worldwide (CSW) is calling for the establishment of a “locally-led, internationally-mediated dialogue process” to address what it calls “grave political, social, humanitarian and human rights concerns in West Papua, Indonesia.”

 Earlier this week CSW completed a fact-finding visit to Indonesia, which included four days in West Papua.

“The team heard repeated calls for dialogue from a variety of Papuan organizations,” a spokesperson told the ASSIST News Service (www.assistnews.com). “CSW also heard evidence of human rights abuses and serious humanitarian challenges, including concerns over poor health care and education provision, the spread of HIV/AIDS, environmental degradation, militarization and demographic changes.”

Migration from other parts of Indonesia has had a major impact on Papuan society, and experts fear that Papuans could become a marginalized minority in the near future. Key jobs and business opportunities appear to be taken by migrants, while Papuans face discrimination. Pressure is growing in Papua itself for a solution, as Papuans increasingly feel frustrated with the current situation.

Indonesia took control of West Papua from the Netherlands in 1962, without the consent of the Papuan people. In 1969, a sham consultation was conducted with handpicked Papuan delegates, and the ‘Act of Free Choice’ ratified Indonesian sovereignty.

In 2001, a new special autonomy arrangement was introduced, but today many Papuans believe the current arrangement has not delivered anything meaningful for their people. Last week, the Papuan People’s Assembly (MRP) formally handed back the Special Autonomy status, and an estimated 10,000 people demonstrated in support of a new agreement for Papua.

CSW’s National Director Stuart Windsor said: “Our team met with a number of key individuals and organizations in West Papua, and the message they received was a resounding call for dialogue. It is clear that Papuans are becoming a minority in their own land. The potential for religious tensions to rise is also there, as the predominantly Christian Papuans feel discrimination from the largely Muslim migrants. The presence of Islamist groups in Papua remains a concern. Health, education and the environment are all further challenges that need solutions.

“The Papua question cannot be resolved by violence, and therefore dialogue must be the way forward. Indonesia acted with impressive responsibility in seeking a peaceful solution in Aceh, and CSW hopes the Indonesian government will take a similar approach to Papua. We encourage a home-grown process led by Indonesians and Papuans, but recommend the presence of international mediators.”

For further information or to arrange interviews please contact Kiri Kankhwende, Press Officer at Christian Solidarity Worldwide on + 44 (0) 20 8329 0045, e-mail kiri@csw.org.uk or visit www.csw.org.uk.

CSW is a human rights organization which specializes in religious freedom, works on behalf of those persecuted for their Christian beliefs and promotes religious liberty for all.

Dan Wooding, Assist News Service

Posted via email from Papua Press Agency Posterous

Saturday 19 June 2010

Media Lens Message Board: The US of A and Indonesia : Climate Change science to be a bridge to the military dictatorship

Link

The US of A and Indonesia : Climate Change science to be a bridge to the military dictatorship

The US of A and Indonesia : Climate Change science to be a bridge to the military dictatorship
Posted by jo abbess on June 15, 2010, 10:49 pm

http://www.sciencemag.org/cgi/content/summary/sci;328/5984/1339?maxtoshow=&hits=10&RESULTFORMAT=&fulltext=climate+change&searchid=1&FIRSTINDEX=0&sortspec=date&resourcetype=HWCIT

Richard Stone
Indonesia and the United States have just inked their first S&T agreement, which is now awaiting ratification by Indonesia President Susilo Bambang Yudhoyono. Two high-profile initiatives are in the works. In the coming weeks, the United States is expected to unveil an extensive education package, including university partnerships and dedicated funds for S&T collaboration; funding for the package could top $150 million. It will also tap Indonesia to host a regional center for climate change, one of the centers of excellence for the Muslim world that U.S. President Barack Obama promised to establish in a landmark speech in Cairo last year."

Wednesday 16 June 2010

Old Dynasties

Link

In Raja,  Arguni Papua there is an extraordinary principality called Arguni. Strong in some aspects of it's existance.
It's lying on the north part of the Bomberay peninsula.
Before it was an area,where the ruler was a representative of the once very powerfull and paramount power in a part of this peninsula: the raja of Rumbati.
Like Sekar, Wertuar and Patipi this area was ruled by clans, which delived rulers not with a raja title.
Later these areas became more and more powerfull themselves and could gain some amount of independence from Rumbati.
In ca. 1865 the ruler of Rumbati received the rajatitle from the paramount ruler in this area:the sultan of Tidore.
When the Dutch East-Indish Government really obtained the influence here at the end of the 19th century the raja of Arguni became more or less totally independent.
Sekar, Arguni and probably also Wertuar were later not ashamed to acknowledge the paramount position of Rumbati in the northern part of the Bomberay peninsula.
Nearly all of the 9 principalities in this peninsula had his own influence area outside his central area;mainly on the Bird's Head peninsula.
These influenced was reduced more and more.But strange enough only in the Arguni area this influence remained very strong.Only in 1928 a begin of a reduced influence was started (the 2 areas of Arguni then were in 2 seperate districts).

The raja of Arguni also was always known a a strong bringer of the islam religion in his influence area.
The Arguni area was known as the area of the excellent boatmakers. The Arguni boats (for business for instance) were always real bigger than the used boats in the other Bomberay principalities.
Also the pottery and the sagoproduction in Arguni is well-known in the area.
The raja dynasty has strong descent connections also with Ceram.
The businnes principalities of the Papua Bomberay peninsula were always strong in trading with the areas around them.
These activites remained strong later.The present rajas are nowadays also engaged in business, or/and are engaged in local politics.
Before Arguni was quite densely populated. Later the amount of population diminished a little.
Arguni is described in the modern time maybe not as the most richest principality in this area, but for sure one of the most remarquable principalities

ANSWER: Papuan/Irian Jayan History and Current Events | Radical Reference

Link

I hope that my approach to this question is useful to you. I found an amazing article on Indonesian history and the areas of East Timor, Aceh, and Irian Jaya (known to independence activists as Papua or West Papua). My main objective in this answer is to give you relevant background information from the article and then direct you to good sources of current information. Among these are longer reports, one directly related to genocide in Papua. With more time, I will be able to put more information on what I feel are the relevant sections of that article.

History of Irian Jaya, ToC

Link

Parts of Western Papua in precolonial times were subject to the Sultanate of Tidore. Dutch began to establish outposts in 1828, claiming western New Guinea for the Dutch East Indies. When Indonesia was released into Independence (1949), the Netherlands held on to Netherlands New Guinea. In the early 1960es Indonesia launched its Konfrontasi policy; in 1963 the Dutch withdrew and Netherlands New Guinea, renamed Irian Jaya, was annexed by Indonesia. In 2003 the province was split in two, Irian Jaya and West Irian Jaya. In 2007 the provinces were renamed, Papua and West Papua respectively.

Timeline :
Irian Jaya

Tuesday 8 June 2010

[Suara Papua Merdeka Blog] Tahanan Kabur Kanit Reskrim Polsek Bojonegoro Kota...

[http://www.mediaindonesia.com/read/2010/05/05/140588/125/101/Tahanan-Kabur-Ka...]
Tahanan Kabur Kanit Reskrim Polsek Bojonegoro Kota Diperiksa
BOJONEGORO--MI: Kepala Unit Reserse Kriminal (Kanit Reskrim) Kepolisian Sektor (Polsek) Bojonegoro Kota Inspektur Satu Suyitno diperiksa oleh Unit Provost Kepolisian Resor Bojonegoro, Jawa Timur, Selasa (4/5).

Pemeriksaan dilakukan terkait dengan kaburnya seorang tahanan bernama Tejo Pramono dari polsek setempat ketika tengah dipriksa. Tejo adalah tahanan tersangka penggelapan dan penipuan.

Suyitno diperiksa oleh provost di Unit Pelayanan, Pengaduan, dan Penegakan Disiplin (P3D) Polres Bojonegoro. Menurut Kepala Unit P3D Polres Bojonegoro Inspektur Satu Sukardi, Suyitno diperiksa sebagai saksi. " Ya, sedang kita periksa intensif," tegasnya.

Ia menjelaskan, pemeriksaan dilakukan karena Kanit Reskrim Polsek Bojonegoro Kota itu tidak memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional hingga menyebabkan seorang tahanan melarikan diri. "Saat ini kami masih melakukan penyidikan dan kita akan lihat perkembangannya nanti," ujarnya, ketika ditanya tindakan yang akan dilakukan.

Berdasarkan informasi, Tejo kabur karena tidak dimasukkan ke ruang tahanan dan dibiarkan bebas berkeliaran. Akhirnya pada Sabtu (1/5) Tejo melarikan diri.

Berdasarkan data yang berhasil di himpun Media Indonesia, peristiwa bermula saat Tejo Pramono, warga Dukuh Sambikerep, Desa Bulaklo, Kecamatan Balen, Bojonegoro, pada 30 November 2009 mendatanggi rumah Mochamad Ali, warga Jalan Serma Maun, Desa Campurejo, Kecamatan Bojonegoro Kota, untuk meminjam uang tunai Rp25 juta.

Kepada Ali, Tejo diberi jaminan mobil Toyota Kijang bernomor polisi S 1180 AA beserta surat tanda nomor kendaraan (STNK) dengan jangka pinjaman selama satu bulan. Namun, setelah lebih dari empat bulan, kendaraan tidak juga ditebus, sehingga Ali mengadaikan mobil tersebut kepada Sugianto, warga Margomulyo, Kecamatan Balen, senilai Rp31,5 juta.

Sebelum sempat ditebus oleh Ali, mobil tersebut kemudian disita oleh sebuah lembaga penjamin keuangan karena masih dalam proses kredit. Karena merasa ditipu, akhirnya Sugianto melaporkan Ali ke polsek Bojonegoro Kota. Setelah dilakukan perundingan, disepakati Ali menyetujui pengembalian uang senilai Rp31,5 juta kepada Sugianto hingga persoalan dianggap selesai.

Selanjutnya, giliran Ali yang melaporkan Tejo atas dasar penipuan dan pengelapan hingga yang bersangkutanpun ditahan di kantor polsek setempat. Namun, karena Tejo tidak dijebloskan ke ruang tahanan, ia berhasil melarikan diri. (YK/OL-01)

Posted via email from Free West Papua's posterous

Tuesday 1 June 2010

West Papua music ; Enamoare

Tuesday 18 May 2010

Indonesia: An Act Free of Choice

Indonesia: An Act Free of Choice

Indonesia, once a bastion of noisy self-righteous anticolonialism, last week formally took over a remote, primitive piece of real estate that can hardly be considered anything but a colony. By means of a blatantly rigged referendum, the Indonesians annexed West Irian, the western half of the rugged South Pacific island of New Guinea.

Why anyone would want the impoverished, California-size region nearly defies understanding. Indeed, the government of Indonesia's President Suharto, who commanded the forces ordered to "liberate" West Irian from Dutch control in 1962, long ago lost any real enthusiasm for the remote and unrewarding territory. But Indonesia's sense of Manifest Destiny was involved. For decades, Indonesians have always rallied to the cry "From Sabang to Merauke!" —from the westernmost island of the 3,000-island archipelago to the easternmost hamlet in West Irian. Said Frans Kaisieppo, the governor of West Irian: "It has become a religious conviction."

One, Two, Many. It will require more than mere conviction to govern the area. The 800,000 Papuan tribesmen of West Irian may be the world's simplest people. They live near-naked in Stone Age savagery in high, roadless valleys surrounded by nameless, unmapped tropical forests. In some of their 150 dialects, counting goes no further than "one, two, many . . . " Their weapons are stone axes, 16-ft. spears and poisoned arrows. Cannibalism, headhunting and tribal warfare are common.

Mourners offer amputated fingers as funeral gifts. Favorite adornment includes bird-of-paradise feathers, skulls on strings, and gourds to cover the genitals. The Papuans are also skilled craftsmen in wood and industrious raisers of pigs, sweet potatoes, tobacco, sugar cane, ginger and bananas.

In 1962, after a brief comic-opera war launched by Indonesia's former President Sukarno, The Netherlands reluctantly handed over West Irian to a United Nations caretaker administration. The arrangement, negotiated by veteran U.S. Diplomat Ellsworth Bunker, promised the Papuans "an act of free choice" within seven years on whether to reject or retain Indonesian control. The formula was designed to save Western face, but the "free choice" has proved lamentably free of choice.

Unanimous Vote. The mechanics of the annexation vote were left to the Indonesians. They immediately rejected the one man, one vote formula, largely because the few thousand literate Papuans of the coastal settlements, who had prospered under the Dutch, were obviously hostile. Instead, the Indonesians imported their village tradition of musjawarah, meaning roughly consultations leading to consensus. For this purpose, they chose 1,025 "people's representatives," who allegedly spoke for all Papuans. The Indonesian army warned that it would not be gentle with dissidents. "Many of us didn't agree to Indonesian control, but we were afraid," one of the delegates told TIME Correspondent David Greenway, who visited West Irian last week. Others were wooed with gifts of salt, tobacco, cloth, beer, outboard motors and junkets to Djakarta. Between intimidation and persuasion, the Indonesians managed to win a unanimous vote in favor of

Saturday 15 May 2010

Perang Kwamki Lama Pecah Lagi

Ditulis oleh Cr-56/Papos       
Jumat, 14 Mei 2010 00:00    

TIMIKA [PAPOS] – Pertikaian Dua Kelompok Warga yakni warga Mambruk II dan Tunikama Kios Panjang di Kwamki Lama Timika, Kamis (13/5) sore kembali terjadi. Kedua kubu sekitar pukul 16.00 WIT saling melepaskan panah kearah masing-masing musuh di hutan belakang Gereja Kingmi Kwamki Lama yang tidak jauh dari wilayah kedua kelompok.

 

Pertikaian ini merupakan kelanjutan dari pertikaian yang dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 07.00 WIT di depan SD Inpres Kwamki I Kampung Kwamki Lama yang mengakibatkan 2 orang warga kelompok atas bernama Daun Singkong Kiwak dan Lompat kinal terkenah panah.

Pertikaian sempat redah pada siang harinya, namun ketika hari mulai sore kedua kubu kembali saling serang. Masing-masing kubu dengan alat perang tradisional setempat seperti panah dan tombak saling lepas anak panah.

Aparat kepolisian dari Satuan Pengedali Massa (Dalmas) dan Polsek Mimika yang berjumlah sekitar 30 personil dikerahkan untuk menghalau akis saling serang kedua kubu. Namun, karena tidak diindahkan Polisi terpaksa membuang tembakan peringatan ke udara untuk menghentikan pertikaian.

Mendengar suara tembakan warga keduaa kubu lantas langsung melarikan diri dan berkumpul di wilayah masing-masing.

Sebelumnya, Rabu (12/5) sore, warga kedua kelompok sempat saling serang. Peristiwa ini terjadi ketika warga kelompok bawah bernama Elison Magai yang sedang mengambil air di jalan belakang Hotel Rimba Papua, dikepung oleh warga kelompok atas yang berjumlah sekitar 30 orang.

Merasa dirinya sedang dalam bahaya, Elison lantas berteriak memanggil rekan-rekanya untuk membantu membalas penyerangan, namun naas dirinya langsung dipanah yang mengakibat luka kena panah di bagian paha kiri.

Pertikaian pun terjadi selama 30 menit mengakibatkan jumlah korban kena panah semakin banyak yakni 5 orang, 1dari warga kelompok atas dan 4 dari warga kelompok bawah.

Kapolsek Mimika Baru AKP. Langgia kepada Papua Pos mengatakan, polisi saat ini hanya berusaha agar kedua kubu tidak saling serang dengan terus menghibau agar kedua kubu segera berdamai dan penyelesaian ini dilakukan melalui jalur hukum.

“kami hanya bisa lakukan seperti itu, sambil ketika ada pertikaian kami polisi mengahalaunya agar tidak menimbulkan korban lebih banyak” ujarnya.

Kata dia, warga kelompok atas meminta agar polisi memberikan waktu agar mereka saling serang “tidak bisa kami polisi tidak akan membiarkan pertikaian terjadi, pokoknya kalo ada saling serang kita akan halau” tegasnya.

Dia menjelaskan, saat ini polisi terus berupaya melalui koordinasi dengan tokoh-tokoh kedua kubu agar bagaimana jalan yang terbaik untuk menyelesaikan masalah ini.

Belum adanya kesepakatan damai antar dua kelompok yang bertikai mengakibatkan hingga kini konflik terus memanas.

Berkepanjangannya konflik antar warga di Kwamki Lama mengakibatkan semakin sulit untuk diselesaikan, bahkan korban luka kena panah semakin bertambah.

Walaupun polisi telah beberapa kali memperigatkan kedua kubu untuk tidak saling serang, namun karena masih adanya dendam maka pertikaian terus berlanjut.

Warga kelompok atas tetap bersikeras korban meninggal harus seimbang dengan kelompok bawah.

Ironisnya, pemerintah daerah tidak ada perhatian untuk menyelesaikan masalah ini.

Padahal warga telah meminta bupati mimika turun tangan untuk menyelesaikan masalah, namun hingga saat ini tidak ada perhatian dari bupati.

Korban meninggal akibat pertikaian sejak awal Januari lalu berjumlah 4 orang, antara lain 2 dari warga kelompok atas bernama Albert Mom dan Agus Kinal, sementara 1 orang dari warga kelompok bawah bernama Namon Kogoya, sedangkan Isodorus Edoway yang dipanah warga kelompok bawah sama sekali bukan warga yang terlibat masalah ini. [cr-56]

Posted via web from Papua Pos' posterous

Perang Kwamki Lama Pecah Lagi

Ditulis oleh Cr-56/Papos       
Jumat, 14 Mei 2010 00:00    

TIMIKA [PAPOS] – Pertikaian Dua Kelompok Warga yakni warga Mambruk II dan Tunikama Kios Panjang di Kwamki Lama Timika, Kamis (13/5) sore kembali terjadi. Kedua kubu sekitar pukul 16.00 WIT saling melepaskan panah kearah masing-masing musuh di hutan belakang Gereja Kingmi Kwamki Lama yang tidak jauh dari wilayah kedua kelompok.

 

Pertikaian ini merupakan kelanjutan dari pertikaian yang dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 07.00 WIT di depan SD Inpres Kwamki I Kampung Kwamki Lama yang mengakibatkan 2 orang warga kelompok atas bernama Daun Singkong Kiwak dan Lompat kinal terkenah panah.

Pertikaian sempat redah pada siang harinya, namun ketika hari mulai sore kedua kubu kembali saling serang. Masing-masing kubu dengan alat perang tradisional setempat seperti panah dan tombak saling lepas anak panah.

Aparat kepolisian dari Satuan Pengedali Massa (Dalmas) dan Polsek Mimika yang berjumlah sekitar 30 personil dikerahkan untuk menghalau akis saling serang kedua kubu. Namun, karena tidak diindahkan Polisi terpaksa membuang tembakan peringatan ke udara untuk menghentikan pertikaian.

Mendengar suara tembakan warga keduaa kubu lantas langsung melarikan diri dan berkumpul di wilayah masing-masing.

Sebelumnya, Rabu (12/5) sore, warga kedua kelompok sempat saling serang. Peristiwa ini terjadi ketika warga kelompok bawah bernama Elison Magai yang sedang mengambil air di jalan belakang Hotel Rimba Papua, dikepung oleh warga kelompok atas yang berjumlah sekitar 30 orang.

Merasa dirinya sedang dalam bahaya, Elison lantas berteriak memanggil rekan-rekanya untuk membantu membalas penyerangan, namun naas dirinya langsung dipanah yang mengakibat luka kena panah di bagian paha kiri.

Pertikaian pun terjadi selama 30 menit mengakibatkan jumlah korban kena panah semakin banyak yakni 5 orang, 1dari warga kelompok atas dan 4 dari warga kelompok bawah.

Kapolsek Mimika Baru AKP. Langgia kepada Papua Pos mengatakan, polisi saat ini hanya berusaha agar kedua kubu tidak saling serang dengan terus menghibau agar kedua kubu segera berdamai dan penyelesaian ini dilakukan melalui jalur hukum.

“kami hanya bisa lakukan seperti itu, sambil ketika ada pertikaian kami polisi mengahalaunya agar tidak menimbulkan korban lebih banyak” ujarnya.

Kata dia, warga kelompok atas meminta agar polisi memberikan waktu agar mereka saling serang “tidak bisa kami polisi tidak akan membiarkan pertikaian terjadi, pokoknya kalo ada saling serang kita akan halau” tegasnya.

Dia menjelaskan, saat ini polisi terus berupaya melalui koordinasi dengan tokoh-tokoh kedua kubu agar bagaimana jalan yang terbaik untuk menyelesaikan masalah ini.

Belum adanya kesepakatan damai antar dua kelompok yang bertikai mengakibatkan hingga kini konflik terus memanas.

Berkepanjangannya konflik antar warga di Kwamki Lama mengakibatkan semakin sulit untuk diselesaikan, bahkan korban luka kena panah semakin bertambah.

Walaupun polisi telah beberapa kali memperigatkan kedua kubu untuk tidak saling serang, namun karena masih adanya dendam maka pertikaian terus berlanjut.

Warga kelompok atas tetap bersikeras korban meninggal harus seimbang dengan kelompok bawah.

Ironisnya, pemerintah daerah tidak ada perhatian untuk menyelesaikan masalah ini.

Padahal warga telah meminta bupati mimika turun tangan untuk menyelesaikan masalah, namun hingga saat ini tidak ada perhatian dari bupati.

Korban meninggal akibat pertikaian sejak awal Januari lalu berjumlah 4 orang, antara lain 2 dari warga kelompok atas bernama Albert Mom dan Agus Kinal, sementara 1 orang dari warga kelompok bawah bernama Namon Kogoya, sedangkan Isodorus Edoway yang dipanah warga kelompok bawah sama sekali bukan warga yang terlibat masalah ini. [cr-56]

Posted via web from Papua Pos' posterous

Kampus Uncen Dipalang

Ditulis oleh Eka/Papua       
Sabtu, 15 Mei 2010 00:00    

JAYAPURA [PAPOS] -Ratusan mahasiswa Universitas Cenderawasih (Uncen) yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Independen Peduli Papua (FMIPP) melakukan aksi unjuk rasa dengan memalang kampus, Jumat (14/5) kemarin.

Sekitar 300 orang mahasiswa itu, dipimpin oleh Koordinator Aksi Benyamin Gurik, melakukan aksi di depan Gapura Masuk Kampus Uncen Waena, membuat aktifitas perkuliahan macet total.

Usai berorasi secara bergantian sejak pukul 09.00 Wit hingga pukul 12.00 Wit, rombongan mahasiswa meninggalkan Gapura masuk Uncen Waena menuju Kampus Uncen Abepura, untuk melakukanaksi yang sama.

Setiba di kampus Uncen Abepura, mahasiswa juga melakukan pemalangan, sehingga aktifiitas perkuliahan di kampus Uncen Abepura sempat terhenti sejenak.

Menurut Benyamin Gurik, aksi mereka tersebut dilakukan untuk memprotes setiap kebijakan Universitas yang kurang berpihak terhadap orang asli Papua.

Protes kebijakan universitas itu, terkait pendaftaran seleksi penerimaan mahasiswa baru yang dilakukan melalui internet, Benyamin, menilai pendaftaran mempersulit orang Papua masuk ke Uncen.

Soalnya kata dia, tidak semua orang memahami pendaftaran via internet, apalagi calon mahasiswa yang datang dari kampung-kampung, selain batas waktu pendaftaran sangat singkat.

Kata Benyamin, pendaftaran melalui internet dengan waktu yang begitu singkat dinilai sangat membatasi anak Papua yang ingin masuk kulia di Uncen.

“Uncen merupakan lembaga pendidikan yang mendidik orang Papua dan menghasilkan orang Papua untuk menjadi pemimpin di Papua, namun kenyataan yang terjadi di akhir-akhir ini dalam penerimaan mahasiswa baru, banyak anak-anak Papua yang tidak diterima, padahal Uncen hadir untuk meningkatkan sumber daya manusia Papua,”ujar Benyamin.

Kebijakan seperti itu lanjut dia, harus di rubah dan Uncen harus memprioritaskan orang asli Papua dalam penerimaan mahasiswa baru, karena latar belakang Uncen untuk medidik orang Papua menjadi maju.

Sementara, Pembantu Rektor IV Drs. Nafi Sanggenafa dan Pembantu Rektor I Drs. Spetus Simbiak langsung menemui mahasiswa. Pada kesempatan itu,

Pembantu Rektor mengajak mahasiswa untuk berdialog di dalam Auditorium Uncen.

Dalam dialog, mahasiswa diwakili oleh Koordinator aksi Benyamin Gurik membacakan tuntutan. Selepas membacakan tuntutan Benyamin menyerahkan tuntutan mahasiswa diterima Pembantu Rektor Drs. Spetus Simbiak.

Dihadapan mahasiswa, Spetus Simbiak, mengatakan bahwa aspirasi mahasiswa itu dalam waktu dekat akan segera ditindaklanjuti.[eka]

Posted via web from Papua Pos' posterous

Polres Merauke Bentuk Tim Olah TKP

Ditulis oleh Frans/Papos       
Sabtu, 15 Mei 2010 00:00    

MERAUKE [PAPOS]-Pasca tewasnya anggota Polres Merauke, George Rahalus bersama anaknya Apri (2) tahun di tempat permainan Galaxy, Jalan Sesate, Kelurahan Seringgu beberapa waktu lalu ketika bersama beberapa pengunjung lain menikmati roller koster, Polres Merauke pun langsung menyikapi dengan serius dengan membentuk tim dari bagian Reskrim untuk melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP). Langkah tersebut dilakukan guna mengetahui secara pasti dan jelas penyebab ambruknya tempat hiburan dimaksud.

Kapolres Merauke, AKBP Hadi Ramdani, SH melalui Humas Polres, AKP Richard Nainggolan yang ditemui di ruang kerjanya, Jumat (14/5) mengungkapkan, tim yang diperkirakan berjumlah kurang lebih 12 orang itu, sedang melakukan olah TKP guna mengungkap penyebab jatuhnya alat tersebut.

Kegiatan olah TKP, menurutnya, tidak bisa dilakukan oleh satu atau dua orang saja. Karena harus diteliti dan dilihat satu persatu barang yang ada di sekitar. Olehnya, harus membutuhkan kerja tim. “Saya sendiri tidak bisa memastikan berapa lama kegiatan olah TKP akan dilakukan. Karena tidaak semuda datang ke sana dan melihat sekaligus menganalisa. Kita harus mencermati satu persatu peralatan yang ada,” ungkap Nainggolan.

Nainggolan juga mengungkapkan, saat ini sedang dilakukan pemeriksaan terhadap Manager Permainan Galaxy. Selain dia, ada dua saksi yang sudah dimintai keterangan terlebih dahulu yakni operator roller koster. Bahkan, tidak menutup kemungkinan isteri dari korban serta beberapa pengunjung di sekitar akan dimintai keterangan guna mengungkap kasus yang sebenarnya. “Saya sendiri belum bisa memastikan berapa orang yang akan diperiksa dalam kapasitas sebagai tersangka, tetapi bahwa sudah tiga orang yang datang ke Polres untuk dimintai keterangan,” tegas dia.

Ketika disinggung apakah ada kemungkinan lebih dari satu tersangka yang berpeluang ditetapkan dalam kasus tersebut, Nainggolan mengungkapkan, untuk sementara dirinya belum bisa berbicara tentang calon tersangka. Sudah ditegaskan berulang kali bahwa kegiatan olah TKP masih dan atau sedang berlanjut sehingga penyidik belum bisa menyimpulkan. Cepat atau lambat akan terungkap siapa-siapa yang akan ditetapkan sebagai tersangka.

Secara terpisah Kaur Bin Ops Polres Merauke, Iptu AE Hariawan mengungkapkan, kegiatan olah TKP masih berlanjut dan sejauh ini tidak ada hambatan yang ditemukan di lapangan. “Kita masih bekerja untuk melakukan penyidikan. Untuk itu, masyarakat diharapkan bersabar karena hasilnya akan disampaikan juga setelah semua proses selesai berjalan,” kata Hariawang. [frans]

Posted via web from Papua Pos' posterous

Pansus Pilkada Gagal Temui Mendagri

               
Ditulis oleh Bela/Papos       
Sabtu, 15 Mei 2010 00:00    

PAYAPURA [PAPOS] - Perjuangan pansus Pilkada DPR Papua untuk bertemu dengan Mendagri di Jakarta, Jumat [14/5] gagal. Meskipun sebelumnya sudah diagendakan bahwa Pansus Pilkada DPR Papua akan bertemu dengan Mendagri di ruang kerja Mendagri, Jumat [14/5].

Hal itu disampaikan ketua Pansus Pilkada DPR Papua, Ruben Magai, S.IP kepada Papua Pos melalui telepon selularnya, Jumat [14/5] malam. Kegagalan ini bukan karena Mendagri tidak mau bertemu dengan Pansus Pilkada DPR Papua, tetapi memang agenda Mendagri ada yang lebih penting yakni rapat Kabinet, sehingga dengan terpaksa pertemuan antara Mendagri dengan Pansus Pilkada DPR Papua ditunda sementara waktu.

‘’Ya, memang sebelumnya sudah diagendakan bahwa kita akan bertemu dengan Mendagri hari Jumat [14/5], tetapi karena tiba-tiba ada agenda lainya yakni rapat kabinet, maka pertemuan ditunda. Rencananya kita dari Pansus Pilkada kembali akan bertemu dengan Mendagri,’’ katanya.

Dikatakan, pihaknya memaklumi alasan penundaan pertemuan tersebut. Mudah-mudahan hari Senin [17/5] tidak ada lagi agenda penting lainnya sehingga Pansus Pilkada DPRP bisa bertemu dengan Mendagri. Meskipun Pansus Pilkada DPR Papua gagal bertemu dengan Mendagri, tetapi pihaknya optimis bahwa Mendagri akan bertemu dengan Pansus Pilkada.

Lebih lanjut dikatakannya, sesuai agenda sebelumnya bahwa Pansus Pilkada DPR Papua akan menemui Komisi II DPR – RI [ membidangi hukum dan Ham]. Selain Komisi II DPR-RI masih dalam hari yang sama pihaknya juga akan menemui Kaukus parlemen Papua.’’Kita harapkan dukungan dari DPR-RI dan Kaukus Parlemen Papua untuk memberikan dorongan serta bersedia memfaslitasi pertemuan Pansus Pilkada DPR Papua dengan Mendagri dan Presiden,’’ katanya. [bela]

Posted via web from Papua Pos' posterous

Provinsi Papua Tengah Dipersiapkan

Ditulis oleh Ant/Agi/Papos       
Jumat, 14 Mei 2010 00:00    

TIMIKA [PAPOS] - Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan mengutus Deputi I Bidang Politik Dalam Negeri Mayjen Karseno bersama tim ke Timika, untuk mempersiapkan pembentukan Provinsi Papua Tengah.

Rabu [12/5] pagi lalu, Karseno yang didampingi asistennya Amirullah dan Nurhadi bersama Tim Pemekaran Provinsi Papua Tengah meninjau lahan seluas 106 hektar yang dihibahkan Pemkab Mimika untuk lokasi pembangunan perkantoran Pemprov Papua Tengah di Kampung Limau Asri-SP5 Timika.

Karseno mengatakan, kunjungan ke Timika dalam rangka membuat kajian dan analisis kebijakan pemekaran Provinsi Papua Tengah menuju sebuah daerah otonom baru.

" Kedatangan kami untuk mendapatkan fakta-fakta dan aspirasi masyarakat Timika dan sekitarnya sehingga nanti tidak ada kesan `katanya` atau direkayasa," jelas Karseno saat beraudiens dengan Pemkab Mimika, anggota DPRD dan para tokoh masyarakat Mimika serta sejumlah kabupaten tetangga di Pendopo Rumah Jabatan Bupati Mimika, Selasa malam.

Ia mengatakan, fakta dan hasil kajian yang diperoleh di Timika akan menjadi bahan evaluasi Kantor Kemenko Polhukam untuk menyimpulkan apakah Papua Tengah layak atau tidak menjadi provinsi baru terlepas dari Provinsi Papua.

Menurut Karseno, sejak beberapa tahun lalu Pemerintah Pusat membuat moratorium pemekaran provinsi lantaran banyaknya masalah.

Meski begitu, katanya, tidak tertutup kemungkinan pemekaran provinsi baru dengan melalui evaluasi ketat dan dilengkapi desain besarnya.

Karseno menegaskan, tujuan utama pemekaran suatu wilayah untuk menyejahterakan rakyat dan meningkatkan pelayanan kepada rakyat.

"Namun yang terjadi selama ini jauh dari harapan itu karena dimanfaatkan untuk bagi-bagi kekuasaan dan lainnya. Ini yang harus dihindari. Pemekaran Papua Tengah dalam rangka untuk menyejahterakan rakyat Papua terutama di wilayah Papua Tengah," ungkapnya.

Ketua Tim Pemekaran Provinsi Papua Tengah Andreas Anggaibak mengatakan, pada 23 Agustus 2003 sudah dilakukan deklarasi pembentukan Provinsi Papua Tengah (saat itu disebut Provinsi Irian Jaya Tengah).

Namun karena ada pro-kontra pemekaran, agenda itu tidak ditindaklanjuti. Selanjutnya pada 13 Mei 2008 papan nama Kantor Gubernur dan DPRD Provinsi Papua Tengah dipasang kembali.

"Pemekaran ini sangat penting. Selama ini kami diperalat oleh orang lain. Tidak ada lagi masyarakat yang tolak pemekaran Papua Tengah, kami sudah berdamai," katanya.

Anggaibak meminta tim Kemenko Polhukam membawa aspirasi rakyat Papua Tengah ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta dan berharap pada 17 Agustus 2010 sudah dilantik Caretaker Gubernur Provinsi Papua Tengah.

"Kekayaan alam kami (tambang emas dan tembaga yang dikelola PT Freeport Indonesia) bisa memberi makan 22 negara, masa` Timika tidak bisa menjadi ibu kota Provinsi Papua Tengah," kata Anggaibak. [ant/agi]

Posted via web from Papua Pos' posterous

My Headlines

Papua - Indonesia Headline Animator

 
free counters

Blog Papua - Indonesia Headline Animator

About Me

My photo
Jayapura, Papua, Indonesia
Papua, West Papua, Free West Papua

Followers